A PRIMER OF FRUEDIAN
Bab 2 The Organization of Personality
Bab 2 The Organization of Personality
Keseluruhan personalitas Freud terdiri dari tiga sistem
besar. Semuanya itu disebut id, ego, dan superego. Dalam diri orang yang sehat
secara mental ketiga sistem ini membentuk suatu organisasi yang padu dan
harmonis. Dengan bekerja bersama secara kooperatif, ketiganya memampukan
individu untuk menjalankan transaksi-transaksi yang memuaskan dan efisien
dengan lingkungannya. Tujuan transaksi-transaksi ini adalah pemenuhan kebutuhan
dan hasrat dasariah manusia. Sebaliknya, jika ketiga sistem personalitas ini
berlawanan satu sama lain, orang tersebut akan dikatakan sebagai maladjusted.
Dia akan tidak puas dengan dirinya dan [tidak puas] dengan dunia, dan efisiensi
yang dimilikinya mengalami reduksi.
I. Id
Fungsi id satu-satunya adalah memberikan pelepasan dengan
segera kuantitas-kuantitas dari excitation (energi atau ketegangan) yang
dikeluarkan dalam organisme melalui stimulasi/rangsangan internal atau
eksternal. Fungsi id ini memenuhi prinsip primordial dari hidup yang Freud
sebut sebagai prinsip kenikmatan [pleasure]. Tujuan dari prinsip kenikmatan
adalah membebaskan orang dari ketegangan, atau, jika hal ini tidak mungkin
dilakukan�seperti
yang biasanya terjadi�mereduksi jumlah ketegangan pada tingkat yang rendah dan
mempertahankannya dalam kondisi tersebut sekonstan mungkin. Ketegangan dialami
dan dimaknai sebagai rasa sakit atau ketaknyamanan, sementara keterbebasan dari
ketegangan dialami sebagai kenikmatan atau kepuasan. Sasaran prinsip kenikmatan
karenanya bisa dikatakan terdiri dari penghindaran rasa sakit dan pencarian
kenikmatan.
Prinsip kenikmatan merupakan kasus khusus kecenderungan
universal yang ditemukan dalam semua makhluk hidup dalam mempertahankan
kekonstanannya ketika berhadapan dengan gangguan-gangguan eksternal maupun
internal.
Dalam bentuknya yang paling awal, id merupakan suatu
aparatus refleks yang dengan serta merta melakukan tindakan pelepasan melalui
jalur-jalur motoris ketika excitation-excitation indrawi mengalami ketegangan.
Demikianlah ketika sinar yang teramat kuat mengenai retina mata, kelopak mata
menutup dan gangguan itu terbendung. Sebagai akibatnya, excitation-excitation
yang dihasilkan dalam sistem syaraf oleh cahaya diredakan dan organisme
tersebut kembali berada dalam keadaan yang tenang. Organisme dilengkapi dengan
banyak refleks-refleks semacam itu, begitulah mereka diistilahkan, yang
melayani tujuan untuk secara otomatis membuang setiap energi ragawi yang
dilepaskan melalui suatu pemicu [trigger], stimulus, yang bersentuhan dengan
organ indra. Akibat tipikal dari pelepasan motoris ini adalah membuang atau
menghilangkan stimulus tersebut. Bersin, sebagai contoh, bisanya mengenyahkan
material apapun yang mengganggu saluran hidung yang sensitif, dan membasahi
mata demi membuang partikel-partikel asing. Stimulus bisa datang dari dalam
tubuh sebagaimana pula dari dunia luar. Satu contoh stimulus internal adalah
refleks membuka katup dalam usus besar jika tekanan didalamnya mencapai
intensitas tertentu. Excitation [ketegangan] yang dihasilkan oleh tekanan
tersebut dihilangkan dengan cara mengosongkan isi yang ada di kantong
pencernaan melalui katup yang terbuka itu.
Jika semua ketegangan yang ada dalam organisme bisa dibuang
melalui tindakan-tindakan refleks, tidak akan adalah kebutuhan bagi suatu
pengembangan disiplin psikologi yang melampaui subjek tentang aparatus
refleks-refleks yang primitif semacam itu. Akan tetapi hal itu bukan kasus di
sini. Banyak ketegangan berlangsung dalam organisme yang untuk semua ketegangan
itu tak ada aparatus refleks yang sesuai
untuk membuangnya. Sebagai misal, ketika kontraksi-kontraksi akibat rasa lapar
muncul dalam perut seorang bayi, kontraksi-kontraksi ini tidaklah secara
otomatis mendatangkan makanan. Sebagai gantinya kontraksi-kontraksi itu
memunculkan rasa resah dan tangisan. Kecuali si bayi diberi makan,
kontraksi-kontraksi itu akan semakin intens sampai semua itu hilang karena rasa
lelah. Tentu saja pada waktunya si bayi akan mati karena kelaparan.
Bayi yang lapar itu tidaklah diperlengkapi dengan
refleks-reflek yang dapat menghilangkan rasa lapar yang dialaminya, dan jika
bukan karena intervensi dari orang lain yang membawakannya makanan, si bayi
akan meninggal. Ketika makanan dalam bentuknya yang pas dimasukkan ke dalam
mulut si bayi, refleks-refleks menyedot, menelan dan mencerna melangsungkan
diri dan hilanglah ketegangan-ketegangan akibat rasa lapar itu.
Tak akanlah ada perkembangan psikologis jika setiap kali
bayi mulai merasakan ketegangan dari rasa lapar ia dengan serta merta
mengenyangkan diri dan jika semua excitation lainnya yang muncul dalam tubuh
dapat dihilangkan dengan cara serupa melalui upaya-upaya kooperatif antara
perawatan parental dengan refleks-refleks bawaan lahir. Akan tetapi, in spite
of the solicitude of parents, orang tua tampaknya tidak dapat mengantisipasi
dan secara cepat memuaskan semua kebutuhan-kebutuhan si bayi. Dalam
kenyataannya, dengan menggunakan penjadwalan-penjadwalan dan institusi
pelatihan dan disiplin, tindakan-tindakan para orang tua dalam mereduksi
ketegangan-ketegangan ternyata menghasilkan ketegangan-ketegangan yang lain. Si
bayi tanpa dapat menghindarkannya mengalami semacam rasa frustrasi dan
ketaknyamanan. Pengalaman-pengalaman ini merangsang perkembangan id.
Perkembangan baru yang berlangsung dalam id sebagai hasil
dari rasa frustrasi ini disebut proses primer. Dalam upaya memahami kodrat
proses primer ini, perlulah untuk membahas beberapa kemungkinan-pemungkinan
psikologis dalam manusia. Aparatus psikologis has a sensory end and motor end.
Saluran indrawi terdiri dari organ-organ indra, yang memiliki struktur-struktur
yang dikhususkan dalam menerima stimuli, dan saluran-motor terdiri dari
otot-otot, yang merupakan organ-organ aksi dan gerak. Untuk terjadinya tindakan
refleks hanyalah perlu memiliki organ-organ indra dan otot serta sistem syaraf
yang memperantarainya yang mengirimkan pesan dalam bentuk impuls-impuls
syarafiah dari saluran-indrawi ke saluran-motoris.
Di samping sistem indrawi dan sistem motoris, individu
memiliki suatu sistem perseptual dan sistem memori. Sistem perseptual menerima
excitation-excitation dari organ-organ indra dan membentuk suatu gambaran
mental atau representasi dari objek yang dihadirkan pada organ-organ indra ini.
Gambaran mental ini disimpan sebagai jejak-jejak ingatan dalam sistem memori. Ketika
jejak-jejak ingatan itu diaktivasi, orang tersebut dikatakan memiliki
citra-memori akan objek tersebut yang sebelumnya telah dia persepsi. Masa lalu
dibawa ke masa sekarang melalui citra-citra memori ini. Persepsi adalah suatu
representasi mental dari suatu objek, sementara citra-memori merupakan suatu
representasi mental dari suatu persepsi. Ketika kita memandangi sesuatu yang
ada di dunia, persepsi terbentuk; jika kita ingat akan apa yang suatu waktu
pernah kita lihat, citra-memori terbentuk.
Sekarang mari kita kembali pada kasus si bayi yang
kelaparan. Di masa yang telah lalu, kapanpun si bayi merasa lapar, ia selalu
pada akhirnya diberi makan. Selama pemberian makan itu, si bayi melihat,
mencecap, mencium dan merasakan makanan, dan persepsi-persepsi ini disimpan
dalam sistem memorinya. Melalui repetisi, makanan menjadi diasosiasikan dengan
pengurangan-ketegangan. Karenanya jika si bayi tidak dengan segera diberi
makan, ketegangan dari rasa lapar menghasilkan suatu citra memori akan makanan
yang telah diasosiasikan dengan rasa lapar tersebut. Demikianlah, dalam id
terdapat citra akan suatu objek yang mampu menghilangkan atau mengurangi
ketegangan dari rasa lapar. Proses yang menghasilkan suatu citra memori akan
suatu objek yang diperlukan dalam mereduksi [mengurangi] ketegangan disebut
proses primer.
Proses primer berupaya membuang ketegangan dengan membuat
apa yang disebut Freud sebagai �an identity of perception.� Melalui an identity
of perception maksud Freud adalah bahwa id memandang citra-memori sebagai
identik dengan persepsi itu sendiri. Bagi id, ingatan akan makanan setepatnya
sama dengan memakan makanan tersebut. Dengan kata lain, id gagal [tidak bisa]
untuk membedakan antara citra ingatan subjektif dengan persepsi atas objek real
yang objektif.
Ilustrasi gampang dari kegiatan dalam proses primer ini
adalah pengelana kehausan yang berimajinasi melihat air. Contoh lain dari
proses primer ini adalah mimpi buruk/menakutkan. Suatu mimpi adalah suksesi
citra-citra, biasanya visual dalam kualitasnya, yang fungsinya untuk mereduksi
ketegangan dengan menghidupkan kembali ingatan-ingatan akan peristiwa-peristiwa
yang telah lalu dan objek-objek dari masa lalu yang sedemikian rupa
diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan. Orang tidur yang mengalami rasa lapar
memimpikan makanan dan hal-hal yang diasosiasikan dengan kegiatan makan,
sementara dia yang terangsang secara seksual akan memimpikan kegiatan-kegiatan
seksual dan kejadian-kejadian terkait. Pembentukan citra dari suatu objek yang
[berkemungkinan dalam] mereduksi ketegangan disebut wish-fulfillment. Freud
percaya bahwa semua mimpi merupakan wish-fulfillments atau pengupayaan
wish-fulfillment. Kita bermimpi tentang apa yang kita inginkan.
Sudah jelas bahwa orang yang lapar tidak dapat memakan citra-citra
makanan juga tidak dapat seorang yang haus menghilangkan rasa hausnya dengan
meminum air imajiner. Dalam kasus orang bermimpi, Freud memandang bahwa
memimpikan objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang diingini adalah demi maksud
menghindarkan orang yang sedang tidur itu agar tidak terjaga. Bahkan dalam
kehidupan terjaga, proses primer tidak sepenuhnya berhenti beroperasi, semenjak
adalah perlu untuk mengetahui�yaitu memiliki suatu citra akan�apa yang orang
butuhkan sebelum dia dapat memutuskan untuk mendapatkannya. Orang lapar yang
memiliki representasi mental akan makanan tidaklah berada dalam posisi yang
lebih baik dalam memuaskan rasa laparnya daripada orang yang tidak tahu apa
yang dia cari. Jika bukan karena proses primer, orang hanya bisa memuaskan
kebutuhan-kebutuhannya melalui tindakan trial-and-error yang serampangan.
Karena proses primer itu pada dirinya sendiri tidak menghilangkan ketegangan
secara efektif, proses sekunder kemudian dikembangkan. Tapi proses sekunder ini
termasuk pada ego, karenanya kita akan menangguhkan pembahasan tentang hal ini
di bagian selanjutnya.
Freud mengatakan hal lainnya tentang id. Id adalah sumber
utama energi psikis dan tempat bermukimnya insting-insting. (Untuk diskusi
tentang energi dan insting, lihat Bab 3, �The Dynamics of
Personality.�)
Id berhubungan lebih dekat dengan tubuh beserta proses-prosesnya daripada
dengan dunia eksternal. Id tidak memiliki organisasi [kata benda dari organize]
sebagaimana dibandingkan dengan ego dan super ego. Energi yang dimilikinya
berada dalam keadaan yang mobil agar energi itu bisa dibuang atau dipindahkan
dari satu objek ke objek yang lain. Id tidaklah berubah seiring waktu; ia tidak
bisa dimodifisir melalui pengalaman karena ia tidak melakukan kontak dengan
dunia eksternal. Akan tetapi ia bisa dikontrol dan diatur oleh ego.
Id tidaklah diatur melalui hukum-hukum rasio atau logika,
dan ia tidak memiliki nilai-nilai, etika, atau moralitas. Ia diarahkan hanya
oleh satu pertimbangan, untuk meraih pemuasan bagi kebutuhan-kebutuhan
instingtual yang selaras dengan prinsip kenikmatan. Hanya ada dua isu yang
mungkin bagi setiap proses id. Ia akan dilepaskan dalam tindakan atau
wish-fulfillment, atau ia akan tunduk pada pengaruh ego, yang dalam kasus ini
energi tersebut menjadi terkerangkeng alih-alih dibuang dengan segera.
Freud membahas id sebagai realitas psikis sejati. Dengan hal
ini maksudnya adalah bahwa id merupakan realitas subjektif primer, dunia
batiniah yang ada sebelum individu mengalami dunia eksternal. Tidak hanya insting-insting
dan refleks-refleks bawaan lahir, tapi citra-citra yang dimunculkan oleh
keadaan-keadaan penuh ketegangan bisa juga bersifat batiniah. Ini artinya bahwa
seorang bayi yang lapar bisa memiliki suatu citra akan makanan tanpa harus
belajar untuk mengasosiasikan makanan dengan rasa lapar. Freud percaya bahwa
pengalaman yang diulang dengan kekerapan yang tinggi dan intens dalam diri
orang dari beberapa generasi berturut-turut menjadi endapan permanen [permanent
deposits] dalam id. Endapan-endapan baru dibuat dalam id selama hidup seseorang
sebagai hasil dari mekanisme represi. (Represi
dibahas dalam bab 4, �The Development of Personality.�)
Id tidak hanya arkaik dari titik pandang sejarah ras, tapi
ia juga arkaik dalam kehidupan seorang individu. Ia merupakan fondasi diatas
mana personalitas dibangun. Id mempertahankan karakter infantil sepanjang
hidupnya. Ia tidak bisa mentolelir ketegangan. Ia menginginkan pemuasan
serta-merta. Ia menuntut, impulsif, irasional, asosial, mementingkan kepentingan
diri, dan cinta akan kenikmatan. Ia merupakan bagian personalitas yang amat
manja. Ia bisa melakukan apapun [omnipotent] karena ia memiliki kekuatan
sihiriah yaitu memuaskan segenap keinginannya melalui imajinasi, fantasi,
halusinasi, dan mimpi. Ia disamakan dengan oseanik, karena seperti laut, dia
memuat segala hal. Ia pada dirinya sendiri tidak mengenal apapun yang
eksternal. Id merupakan dunia dari realitas subjektif yang didalamnya
pengejaran akan kenikmatan dan penghindaran rasa sakit merupakan satu-satunya
fungsi yang diperhitungkan.
Freud mengakui bahwa id merupakan bagian personalitas yang
tak bisa diakses dan amat gelap, dan semua yang telah didapat melalui studi
atas mimpi dan gejala-gejala neurotik, hanyalah secuil bagian dari id. Akan
tetapi, kita bisa melihat id sedang bekerja kapanpun seseorang melakukan
sesuatu yang impulsif. Misalnya seseorang who acts on an impulse untuk
melemparkan batu dari jendela atau memukul muka orang lain atau melakukan
pemerkosaan berada dibawah dominasi id. Serupa itu pula, orang yang
menghabiskan banyak waktu dengan bermimpi dan membangun kastil di langit, dia
sedang dikontrol oleh id-nya. Id tidak berpikir. Ia hanya meng-ingin atau
bertindak.
II. The Ego
Dua proses melalui mana id melepaskan/menghilangkan ketegangan,
yaitu, aktivitas motor impulsif dan pembentukan citra (wish-fulfilment),
tidaklah mencukupi dalam meraih tujuan-tujuan revolusioner dari reproduksi dan
survival. Refleks-refleks maupun keinginan-keinginan tidaklah akan memberikan
makanan bagi orang yang lapar juga tidak akan memberikan lawan jenis bagi orang
yang terangsang secara seksual. Pada kenyataannya, prilaku impulsif bisa
menghasilkan meningkatnya ketegangan (rasa sakit) dengan memunculkan hukuman
yang datang dari dunia eksternal. Kecuali dia memiliki pengasuh yang permanen,
seperti yang dia punyai ketika masa kanak, manusia harus mencari dan
mendapatkan makanan, pasangan seks, dan banyak objek-tujuan lainnya yang
diperlukan dalam hidup. Untuk mencapai misi-misi ini perlulah baginya untuk memperhitungkan
realitas eksternal (lingkungan) dan, baik dengan cara menyesuaikan diri dengan
dunia atau dengan menaklukan dunia, mendapatkan dari dunia itu apa yang dia
butuhkan. Transaksi-transaksi antara orang dengan dunia mensyaratkan
dibentuknya suatu sistem psikologis baru, ego.
In the well-adjusted person, ego merupakan aparatus
eksekutif dari personalitas, mengatur dan mengontrol id dan superego dan
membangun hubungan dengan dunia luar demi kepentingan keseluruhan personalitas
beserta kebutuhan-kebutuhan jangka panjangnya. Ketika ego melakukan
fungsi-fungsi eksekutifnya dengan bijak, harmoni dan persesuaian [dengan dunia]
terbangun. Jika ego terlalu mengabdi dan tunduk pada kekuatan id, pada
superego, atau pada dunia ekxternal, yang muncul adalah disharmoni dan
maladjustment.
Alih-alih prinsip kenikmatan, ego diatur oleh prinsip
realitas. Realitas artinya segala sesuatu yang ada. Tujuan dari prinsip
realitas adalah untuk menangguhkan pelepasan energi sampai objek aktual yang
dapat memuaskan kebutuhan telah ditemukan atau dihasilkan. Sebagai contoh, si
bayi haruslah belajar untuk tidak memasukkan segala benda kedalam mulutnya
sewaktu lapar. Dia harus belajar mengenali makanan, dan harus menangguhkannya
sampai dia berhasil menemukan objek-objek yang bisa dicerna. Jika tidak, dia
akan mengalami berbagai pengalaman yang menyakitkan.
Penangguhan tindakan berarti bahwa ego harus mampu
mentolelir tensi [ketegangan] sampai ketegangan itu bisa dilepaskan melalui
bentuk prilaku yang sesuai. The institution of the reality principle tidaklah
berarti bahwa prinsip kenikmatan ditinggalkan. Prinsip itu hanya secara
temporer ditangguhkan demi kepentingan prinsip realitas. Pada akhirnya, prinsip
realitas membawa pada kenikmatan, meski orang harus mengalami beberapa ketaknyamanan
sewaktu dia mencarinya dalam realitas.
Prinsip realitas dijalankan melalui suatu proses yang Freud
sebut sebagai proses sekunder, karena proses ini dikembangkan setelah dan
diatas proses-proses primer dari id. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan
proses sekunder, perlulah untuk mengetahui sejauh mana proses primer memuaskan
kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki individu. Ia memuaskan kebutuhan hanya sampai
pada titik ketika si individu memiliki suatu gambaran dari objek yang akan
memuaskan kebutuhannya. Langkah selanjutnya adalah menemukan atau membuat objek
tersebut, yaitu, to bring it into existence. Langkah ini dicapai melalui proses
sekunder. Proses sekunder terdiri dari menemukan atau membuat realitas melalui
suatu rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pemikiran dan rasio
(kognisi). Proses sekunder tak lebih dan tak kurang dari apa yang biasa
diistilahkan dengan berpikir atau pemecahan masalah.
Ketika orang menjalankan suatu rencana tindakan demi melihat
apakah rencana itu akan berjalan baik atau tidak, dia dikatakan sedang terlibat
dalam reality testing. Jika tes itu tidak bekerja, artinya, jika objek yang
diinginkan tidak ditemukan, rancangan tindakan baru dibuat/dibagankan dan diuji
kembali. Ini terus berlanjut sampai solusi yang korek (realitas) ditemukan dan
ketegangan dilepaskan melalui aksi yang pas. Dalam kasus rasa lapar, tindakan
yang pas itu akanlah terdiri dari memakan makanan.
Proses sekunder sanggup mencapai apa yang tak bisa dilakukan
proses primer, yaitu, untuk memisahkan dunia subjektif pikiran dari dunia
objektif realitas fisis. Proses sekunder tidaklah membuat kesalahan, seperti
yang dilakukan proses primer, dalam memahami citra dari suatu objek seolah-olah
citra tersebut adalah objek itu sendiri. The inauguration of the reality
priciple, pemungsian proses sekunder, dan peran yang lebih signifikan bahwa
dunia eksternal ikut memainkan peran dalam kehidupan seseorang, merangsang
pertumbuhan dan elaboration of the psychological processes of perception,
memory, thinking, and action.
Sistem perseptual mengembangkan daya-daya pembedaan
[diskriminasi] yang lebih halus sehingga dunia eksternal dipersepsi dengan
akurasi dan presisi yang lebih tinggi. Ia belajar untuk memindai dunia dengan
lebih cepat dan memilih dari berbagai stimuli hanya bagian-bagian lingkungan
yang relevan dengan permasalahan yang hendak dipecahkan. Disamping informasi
yang diperoleh melalui organ-organ pengindraan, pemikiran mempergunakan
informasi yang telah disimpan dalam sistem memory. Memori ditingkatkan
[diperbaiki] melalui pembentukan asosiasi-asosiasi antara jejak-jejak memori,
dan melalui pengembangan suatu sistem notasi: bahasa. Penilaian seseorang
menjadi lebih tajam, sehinggal lebih mudahlah untuk membuat putusan-putusan
clear-cut perihal apakah sesuatu itu betul [true] (actually exists) atau apakah
sesuatu itu salah (does not exists). Rangkaian perubahan penting lainnya
berlangsung dalam sistem motorik. Dia belajar untuk menangani otot-ototnya
lebih cakap dan sanggup melakukan pola-pola gerakan yang lebih kompleks. All in
all, adaptasi-adaptasi dalam fungsi-fungsi psikologis memampukan orang untuk
berprilaku lebih intelejen dan lebih efisien dan untuk menguasai
impuls-impulsnya dan lingkungannya demi kepentingan kepuasan dan rasa nikmat yang
lebih tinggi. Ego bisa dipandang sebagai suatu organisasi kompleks dari
proses-proses psikologis yang bertindak sebagai perantara antara id dan dunia
eksternal.
Disamping proses-proses yang melayani realitas, terdapat
satu fungsi ego yang mirip dengan proses primer dari id. Ini adalah fungsi yang
menghasilkan fantasi dan mimpi. Fungsi ini bebas dari tuntutan-tuntutan
pengujian realitas dan tunduk pada prinsip kenikmatan. Akan tetapi, proses ego
ini berbeda dari proses primer karena ia membedakan antara fantasi dengan
realitas, yang hal itu bukan merupakan kasus dalam proses primer. Fantasi yang
dihasilkan ego ini dikenali sebagai mana adanya, yaitu, sebagai main-main dan
kegiatan berkhayal yang mendatangkan kenikmatan. Meski semua fantasi itu tidak
pernah disalahartikan sebagai realitas, mereka memberikan �hari
libur�
dari kegiatan-kegiatan ego lain yang lebih serius.
Meski ego sebagian besarnya merupakan produk dari interaksi
orang dengan lingkungan, garis-garis perkembangannya ditentukan oleh garis keturunan
dan dipandu oleh proses-proses pertumbuhan natural (maturation). Ini berarti
bahwa setiap orang memiliki potensialitas-potensialitas-bawaan-lahir untuk
berpikir dan bernalar. Realisasi dari potensialitas-potensialitas ini dicapai
melalui pengalaman, pelatihan dan pendidikan. Semua pendidikan formal,
misalnya, memiliki tujuan utamanya dalam mengajar orang bagaimana berpikir
lebih efektif. Berpikir efektif terdiri dari sanggup sampai pada kebenaran,
kebenaran yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mengada.
III. Superego
Institusi ketiga dari personalitas, superego, merupakan
cabang moral atau judisial dari personalitas. Ia merepresentasikan ideal
alih-alih hal-hal yang real, dan ia memperjuangkan kesempurnaan alih-alih untuk
kenikmatan ataupun demi realitas. Superego adalah kode moral seseorang. Ia
terbentuk sebagai konseksuensi dari asosiasi si anak pada standar-standar yang
dimiliki orang tuanya perihal apa yang baik dan saleh dan apa yang buruk dan
berdosa. Dengan mengasimilasikan otoritas moral orangtuanya, si anak mengganti
otoritas yang dimiliki orang tua dengan otoritas batiniahnya sendiri.
Internalisasi otoritas parental ini membuat si anak mampu mengontrol
perilakunya segaris dengan keinginan-keinginan orangtua, dan dengan melakukan
hal itu sekaligus pula mengukuhkan approval mereka dan menjauhkan ketaksenangan
mereka. Dengan kata lain, si anak menjadi tahu bahwa dia tidak hanya harus
mematuhi prinsip realitas untuk mendapatkan kesenangan dan menghindarkan rasa
sakit, tapi bahwa dia juga harus berusaha berprilaku selaras dengan
diktean-diktean moral dari orang tuanya. Panjangnya periode ketergantungan yang
dialami si anak terhadap orang tuanya membantu pembentukan superego ini.
Superego terdiri dari dua subsistem, ego-ideal dan nurani
[conscience]. Ego-ideal berhubungan dengan konsepsi-konsepsi yang dipunyai anak
perihal apa yang oleh orangtuanya dianggap baik secara moral. Orang tua
menyampaikan standar-standar kebajikan mereka kepada si anak melalui pemberian
ganjaran atas tindakan-tindakan yang selaras dengan standar-standar ini.
Sebagai contoh, jika si anak secara konsisten diganjar karena bersih dan rapi
maka kebersihan dan kerapian pantas menjadi salah satu dari ideal yang dimiliki
si anak. Nurani, dilain pihak, berhubungan dengan konsepsi-konsepsi yang
dimiliki si anak tentang apa yang orang tua rasakan sebagai buruk secara moral,
dan semua ini dkukuhkan melalui pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan
hukuman. Jika dia kerap dihukum karena kotor, maka kotor dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Ego-ideal dan nurani merupakan sisi yang berlawanan dari
mata uang yang sama.
Ganjaran dan hukuman apakah yang dipakai orangtua dalam
mengontrol pembentukan superego? Ada dua macam, fisik dan psikologis. Ganjaran
fisik terdiri dari objek-objek yang diinginkan anak. Objek-objek itu seperti
misalnya makanan, mainan, ibu, ayah, belaian, dan permen. Hukuman fisik adalah
tindakan-tindakan menyakitkan pada tubuh anak seperti misalnya spankings dan
diambilnya hal-hal yang diinginkan si anak. Ganjaran psikologis yang pokok
adalah ganjaran berupa persetujuan parental yang diungkapkan melalui kata-kata
ataupun melalui ekspresi fasial. Persetujuan semacam itu merepresentasikan
cinta. Dengan cara yang sama, menyurutnya cinta merupakan bentuk utama dari
hukuman psikologis. Ini diekspresikan melalui hardikan verbal atau tatapan yang
tak setuju*. Tentu saja ganjaran dan hukuman fisik juga bisa berarti cinta atau
surutnya** cinta bagi si anak. Anak yang menerima spanking tidak hanya terluka
tapi dia juga akan merasa bahwa orang tuanya sudah membuangnya, yaitu,
menyurutkan cintanya. Akan tetapi mengalirnya dan menyurutnya cinta [afeksi]
mempunyai sumber kekuatannya atas anak terutama karena kaitannya dengan
pemuasan atau ketakpuasan atas kebutuhan-kebutuhan dasar. Seorang anak
menginginkan cinta kasih ibunya karena dia sudah tahu [belajar] bahwa ibu yang
tak mencinta suka lamban dalam memberi makan dan karenanya memperpanjang
kondisi penuh ketegangan yang menyakitkan. Serupa itu pula, seorang anak
berusaha keras untuk tidak membuat ayahnya tidak setuju [disapproval] karena
dia tahu bahwa seorang ayah yang tak setuju bisa membuat kesakitan dengan
men-spankingnya. In the final analysis,
ganjaran dan hukuman, darimanapun sumbernya, merupakan kondisi-kondisi
yang menghilangkan atau meningkatkan ketegangan batiniah.
Agar superego memiliki kontrol yang sama atas diri si anak
seperti halnya yang dimiliki oleh orang tua, perlu bagi superego untuk memiliki
kekuatan dalam memaksakan aturan-aturan moralnya. Seperti orang tua, superego
memaksakan aturan-aturan moralnya melalui ganjaran dan hukuman. Ganjaran dan
hukuman ini diarahkan kepada ego karena ego, berkat kontrolnya atas aksi-aksi
seseorang, dipandang bertanggungjawab atas berlangsungnya tindak-tindak moral
dan immoral. Jika suatu tindakan selaras dengan standar-standar etis dari
superego, ego diberi ganjaran. Akan tetapi tidaklah perlu bagi ego untuk
melakukan suatu aksi fisik aktual melulu agar dirinya diganjar atau dihukum
oleh superego. Ego bisa saja diganjar atau diberi hukuman semata-mata karena
memikirkan melakukan sesuatu. Di mata superego, suatu pikiran sama dengan perbuatan. Dalam hal ini
superego mirip dengan id, yang juga tidak membuat perbedaan antara subjektif
dengan objektif. Ini menjelaskan kenapa orang yang menjalani hidup penuh
kebajikan mengalami banyak serangan dari nuraninya. Superego menghukum ego
karena memikirkan pikiran-pikiran buruk meski pikiran-pikiran itu tidak pernah
dinyatakan dalam perbuatan.
Ganjaran dan hukuman apakah yang tersedia bagi superego?
Bisa fisik atau psikologis. Superego bisa berkata, in effect, kepada seseorang
yang segaris dengan jalan kebenaran, �Sekarang kamu sudah
lama telah berlaku baik, kamu akan diberi kesempatan untuk menyenangkan diri.�
Ini bisa berupa makan di restoran yang mahal, istirahat yang panjang, atau
pemuasan seksual. Liburan, sebagai contohnya, biasanya dipandang sebagai
ganjaran bagi kerja keras.
Kepada para pelanggar moral superego mungkin bisa berkata,
in effect, �Sekarang
kamu sudah berbuat jahat, kamu akan dihukum berupa pengalaman-pengalaman yang
tak menyenangkan yang akan menimpa dirimu.� Kesialan-kesialan itu
mungkin saja berupa sakit perut, luka, atau hilangnya barang-barang yang amat
penting. Adalah pandangan Freud terhadap proses-proses personalitas yang halus
dan njlimet inilah yang menyingkapkan alasan penting kenapa orang jatuh sakit,
mengalami kecelakaan, dan kehilangan benda-benda. Semua kesialan itu
sedikit-banyak bisa melibatkan tindakan menghukum-diri karena telah melakukan
sesuatu yang salah. Contoh dari ini adalah seorang pemuda yang menabrakkan
mobilnya tak lama setelah dia melakukan hubungan seksual dengan seorang gadis.
Tentu saja, orang tidak menyadari kaitan antara memiliki perasaan bersalah
dengan mengalami kecelakaan.
Ganjaran dan hukuman psikologis yang dilakukan superego
merupakan rasa-perasaan pride [bangga] dan perasaan bersalah atau inferioritas.
Ego menjadi lega karena bangga ketika dia telah berlaku saleh atau membayangkan
pikiran-pikiran yang saleh, dan ia merasa malu akan dirinya sendiri ketika dia
takluk pada godaan. Bangga adalah ekuivalen dengan cinta-diri, dan
rasa-bersalah atau inferioritas dengan benci-diri; semua itu merupakan
representasi-representasi batiniah dari cinta dan penolakan parental.
Superego merupakan representatif nilai-nilai dan ideal-ideal
tradisional masyarakat dalam personalitas yang diwariskan dari orang tua kepada
anak. Dalam kaitan ini haruslah diingat bahwa superego yang dimiliki anak
bukanlah refleksi dari tindak-tanduk orang tua tapi lebih merupakan superego
yang dimiliki para orangtua. Seorang dewasa mungkin mengatakan suatu hal dan
melakukan hal lain, tapi adalah apa yang dia katakan, yang didukung oleh
ancaman atau ganjaran, yang penting dalam pembentukan superego si anak. Para
guru, pendeta, polisi�sebenarnya setiap orang yang posisinya memiliki otoritas
atas anak�bisa
menempati peran orang tua. Reaksi-reaksi anak pada figur-figur otoritas ini
sebagian besar ditentukan oleh apa yang telah dia asimilasikan sebelumnya dari orang
tua.
Apa tujuan dari superego? Utamanya dia melayani
tujuan-tujuan mengontrol dan mengatur impuls-impuls yang ekspresi-ekspresinya�jika
tak dikontrol�akan
mebahayakan stabilitas masyarakat. Impuls-impuls ini adalah seks dan agresi.
Anak yang tak patuh, memberontak, atau curious secara seksual dipandang sebagai
buruk dan tak bermoral. Orang dewasa yang secara seksual promiscious [dengan
siapa saja; tak pilih-pilih] atau yang melanggar aturan/hukum dan yang pada
umumnya desktruktif dan antisosial dipandang sebagai orang yang jahat.
Superego, dengan menerakan pembatasan-pembatasan batiniah atas anarki dan
lawlessness, membuat orang mampu untuk menjadi anggota masyarakat yang patuh
akan hukum.
Jika id dipandang sebagai produk evolusi dan representatif
psikologis dari pewarisan biologis*, ego merupakan hasil dari interaksi orang
dengan realitas objektif dan wilayah dari proses-proses mental yang lebih
tinggi, maka superego bisa disebut sebagai produk dari sosialisasi dan sarana
bagi tradisi kultural.
Pembaca haruslah ingat bahwa tak ada batasan-batasan yang
tegas antara ketiga sistem ini. Hanya karena mereka memiliki nama-nama yang
berbeda tidaklah berarti bahwa mereka merupakan entitas-entitas yang terpisah.
Nama-nama, id, ego dan superego, sebenarnya tidaklah menandakan sesuatu. Semua
itu semata-mata cara yang gampang untuk menunjukkan proses-proses, fungsi,
mekanisme dan dinamisme yang berbeda
dalam personalitas secara keseluruhan.
The ego is formed out of the id and the superego is formed
out of the ego. Mereka terus berinteraksi dan bercampur satu sama lain
sepanjang hidup. Interaksi-interaksi dan percampuran-percampuran ini,
sebagaimana pula oposisi-oposisi yang terkembang diantara ketiga sistem
tersebut, menjadi pokok pembicaraan dari bab selanjutnya.
Referensi
Freud sigmund, (1990) The Interpretation of Dreams, Bab 7.
London: The Hogarth Press, 1953.
Freud, Sigmund. (1911) �Formulations Regarding
the Two Principles in Mental Functioning.� Dalam Collected
Papers, Vol. IV, hal.13-21. London: The Hogarth Press, 1946.
Freud, Sigmund. (1923) The Ego and the Id. London: The
Hogarth Press, 1947.
Freud, Sigmund. (1925) �A Note upon the �Mystic
Writing Pad.�� Dalam Collected Papers, Vol. V, hal. 175-80.
London: The Hogarth Press, 1950.
Freud, Sigmund. (1925) �Negation.�
Dalam Collected papers, Vol. V, hal. 181-85. London: The Hogarth Press, 1950.
Freud, Sigmund. (1933) New Introductory Lectures on
Psycho-analysis, Bab. 3. New York : W.W. Norton & Company, Inc., 1933.
Freud, Sigmund. (1938) An Outline of Psychoanalysis, Bab. 1.
New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1949.
* Disapproving looks.
** withrawal
* biological endowment
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar, terbuka dengan masukan, kritik, dan saran.