Kamis, 17 Januari 2013

A PRIMER OF FRUEDIAN

Bab 2 The Organization of Personality

Keseluruhan personalitas Freud terdiri dari tiga sistem besar. Semuanya itu disebut id, ego, dan superego. Dalam diri orang yang sehat secara mental ketiga sistem ini membentuk suatu organisasi yang padu dan harmonis. Dengan bekerja bersama secara kooperatif, ketiganya memampukan individu untuk menjalankan transaksi-transaksi yang memuaskan dan efisien dengan lingkungannya. Tujuan transaksi-transaksi ini adalah pemenuhan kebutuhan dan hasrat dasariah manusia. Sebaliknya, jika ketiga sistem personalitas ini berlawanan satu sama lain, orang tersebut akan dikatakan sebagai maladjusted. Dia akan tidak puas dengan dirinya dan [tidak puas] dengan dunia, dan efisiensi yang dimilikinya mengalami reduksi.

I. Id

Fungsi id satu-satunya adalah memberikan pelepasan dengan segera kuantitas-kuantitas dari excitation (energi atau ketegangan) yang dikeluarkan dalam organisme melalui stimulasi/rangsangan internal atau eksternal. Fungsi id ini memenuhi prinsip primordial dari hidup yang Freud sebut sebagai prinsip kenikmatan [pleasure]. Tujuan dari prinsip kenikmatan adalah membebaskan orang dari ketegangan, atau, jika hal ini tidak mungkin dilakukanseperti yang biasanya terjadimereduksi jumlah ketegangan pada tingkat yang rendah dan mempertahankannya dalam kondisi tersebut sekonstan mungkin. Ketegangan dialami dan dimaknai sebagai rasa sakit atau ketaknyamanan, sementara keterbebasan dari ketegangan dialami sebagai kenikmatan atau kepuasan. Sasaran prinsip kenikmatan karenanya bisa dikatakan terdiri dari penghindaran rasa sakit dan pencarian kenikmatan.

Prinsip kenikmatan merupakan kasus khusus kecenderungan universal yang ditemukan dalam semua makhluk hidup dalam mempertahankan kekonstanannya ketika berhadapan dengan gangguan-gangguan eksternal maupun internal.

Dalam bentuknya yang paling awal, id merupakan suatu aparatus refleks yang dengan serta merta melakukan tindakan pelepasan melalui jalur-jalur motoris ketika excitation-excitation indrawi mengalami ketegangan. Demikianlah ketika sinar yang teramat kuat mengenai retina mata, kelopak mata menutup dan gangguan itu terbendung. Sebagai akibatnya, excitation-excitation yang dihasilkan dalam sistem syaraf oleh cahaya diredakan dan organisme tersebut kembali berada dalam keadaan yang tenang. Organisme dilengkapi dengan banyak refleks-refleks semacam itu, begitulah mereka diistilahkan, yang melayani tujuan untuk secara otomatis membuang setiap energi ragawi yang dilepaskan melalui suatu pemicu [trigger], stimulus, yang bersentuhan dengan organ indra. Akibat tipikal dari pelepasan motoris ini adalah membuang atau menghilangkan stimulus tersebut. Bersin, sebagai contoh, bisanya mengenyahkan material apapun yang mengganggu saluran hidung yang sensitif, dan membasahi mata demi membuang partikel-partikel asing. Stimulus bisa datang dari dalam tubuh sebagaimana pula dari dunia luar. Satu contoh stimulus internal adalah refleks membuka katup dalam usus besar jika tekanan didalamnya mencapai intensitas tertentu. Excitation [ketegangan] yang dihasilkan oleh tekanan tersebut dihilangkan dengan cara mengosongkan isi yang ada di kantong pencernaan melalui katup yang terbuka itu.

Jika semua ketegangan yang ada dalam organisme bisa dibuang melalui tindakan-tindakan refleks, tidak akan adalah kebutuhan bagi suatu pengembangan disiplin psikologi yang melampaui subjek tentang aparatus refleks-refleks yang primitif semacam itu. Akan tetapi hal itu bukan kasus di sini. Banyak ketegangan berlangsung dalam organisme yang untuk semua ketegangan itu  tak ada aparatus refleks yang sesuai untuk membuangnya. Sebagai misal, ketika kontraksi-kontraksi akibat rasa lapar muncul dalam perut seorang bayi, kontraksi-kontraksi ini tidaklah secara otomatis mendatangkan makanan. Sebagai gantinya kontraksi-kontraksi itu memunculkan rasa resah dan tangisan. Kecuali si bayi diberi makan, kontraksi-kontraksi itu akan semakin intens sampai semua itu hilang karena rasa lelah. Tentu saja pada waktunya si bayi akan mati karena kelaparan.

Bayi yang lapar itu tidaklah diperlengkapi dengan refleks-reflek yang dapat menghilangkan rasa lapar yang dialaminya, dan jika bukan karena intervensi dari orang lain yang membawakannya makanan, si bayi akan meninggal. Ketika makanan dalam bentuknya yang pas dimasukkan ke dalam mulut si bayi, refleks-refleks menyedot, menelan dan mencerna melangsungkan diri dan hilanglah ketegangan-ketegangan akibat rasa lapar itu.

Tak akanlah ada perkembangan psikologis jika setiap kali bayi mulai merasakan ketegangan dari rasa lapar ia dengan serta merta mengenyangkan diri dan jika semua excitation lainnya yang muncul dalam tubuh dapat dihilangkan dengan cara serupa melalui upaya-upaya kooperatif antara perawatan parental dengan refleks-refleks bawaan lahir. Akan tetapi, in spite of the solicitude of parents, orang tua tampaknya tidak dapat mengantisipasi dan secara cepat memuaskan semua kebutuhan-kebutuhan si bayi. Dalam kenyataannya, dengan menggunakan penjadwalan-penjadwalan dan institusi pelatihan dan disiplin, tindakan-tindakan para orang tua dalam mereduksi ketegangan-ketegangan ternyata menghasilkan ketegangan-ketegangan yang lain. Si bayi tanpa dapat menghindarkannya mengalami semacam rasa frustrasi dan ketaknyamanan. Pengalaman-pengalaman ini merangsang perkembangan id.

Perkembangan baru yang berlangsung dalam id sebagai hasil dari rasa frustrasi ini disebut proses primer. Dalam upaya memahami kodrat proses primer ini, perlulah untuk membahas beberapa kemungkinan-pemungkinan psikologis dalam manusia. Aparatus psikologis has a sensory end and motor end. Saluran indrawi terdiri dari organ-organ indra, yang memiliki struktur-struktur yang dikhususkan dalam menerima stimuli, dan saluran-motor terdiri dari otot-otot, yang merupakan organ-organ aksi dan gerak. Untuk terjadinya tindakan refleks hanyalah perlu memiliki organ-organ indra dan otot serta sistem syaraf yang memperantarainya yang mengirimkan pesan dalam bentuk impuls-impuls syarafiah dari saluran-indrawi ke saluran-motoris.

Di samping sistem indrawi dan sistem motoris, individu memiliki suatu sistem perseptual dan sistem memori. Sistem perseptual menerima excitation-excitation dari organ-organ indra dan membentuk suatu gambaran mental atau representasi dari objek yang dihadirkan pada organ-organ indra ini. Gambaran mental ini disimpan sebagai jejak-jejak ingatan dalam sistem memori. Ketika jejak-jejak ingatan itu diaktivasi, orang tersebut dikatakan memiliki citra-memori akan objek tersebut yang sebelumnya telah dia persepsi. Masa lalu dibawa ke masa sekarang melalui citra-citra memori ini. Persepsi adalah suatu representasi mental dari suatu objek, sementara citra-memori merupakan suatu representasi mental dari suatu persepsi. Ketika kita memandangi sesuatu yang ada di dunia, persepsi terbentuk; jika kita ingat akan apa yang suatu waktu pernah kita lihat, citra-memori terbentuk.

Sekarang mari kita kembali pada kasus si bayi yang kelaparan. Di masa yang telah lalu, kapanpun si bayi merasa lapar, ia selalu pada akhirnya diberi makan. Selama pemberian makan itu, si bayi melihat, mencecap, mencium dan merasakan makanan, dan persepsi-persepsi ini disimpan dalam sistem memorinya. Melalui repetisi, makanan menjadi diasosiasikan dengan pengurangan-ketegangan. Karenanya jika si bayi tidak dengan segera diberi makan, ketegangan dari rasa lapar menghasilkan suatu citra memori akan makanan yang telah diasosiasikan dengan rasa lapar tersebut. Demikianlah, dalam id terdapat citra akan suatu objek yang mampu menghilangkan atau mengurangi ketegangan dari rasa lapar. Proses yang menghasilkan suatu citra memori akan suatu objek yang diperlukan dalam mereduksi [mengurangi] ketegangan disebut proses primer.

Proses primer berupaya membuang ketegangan dengan membuat apa yang disebut Freud sebagai an identity of perception. Melalui an identity of perception maksud Freud adalah bahwa id memandang citra-memori sebagai identik dengan persepsi itu sendiri. Bagi id, ingatan akan makanan setepatnya sama dengan memakan makanan tersebut. Dengan kata lain, id gagal [tidak bisa] untuk membedakan antara citra ingatan subjektif dengan persepsi atas objek real yang objektif.

Ilustrasi gampang dari kegiatan dalam proses primer ini adalah pengelana kehausan yang berimajinasi melihat air. Contoh lain dari proses primer ini adalah mimpi buruk/menakutkan. Suatu mimpi adalah suksesi citra-citra, biasanya visual dalam kualitasnya, yang fungsinya untuk mereduksi ketegangan dengan menghidupkan kembali ingatan-ingatan akan peristiwa-peristiwa yang telah lalu dan objek-objek dari masa lalu yang sedemikian rupa diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan. Orang tidur yang mengalami rasa lapar memimpikan makanan dan hal-hal yang diasosiasikan dengan kegiatan makan, sementara dia yang terangsang secara seksual akan memimpikan kegiatan-kegiatan seksual dan kejadian-kejadian terkait. Pembentukan citra dari suatu objek yang [berkemungkinan dalam] mereduksi ketegangan disebut wish-fulfillment. Freud percaya bahwa semua mimpi merupakan wish-fulfillments atau pengupayaan wish-fulfillment. Kita bermimpi tentang apa yang kita inginkan.

Sudah jelas bahwa orang yang lapar tidak dapat memakan citra-citra makanan juga tidak dapat seorang yang haus menghilangkan rasa hausnya dengan meminum air imajiner. Dalam kasus orang bermimpi, Freud memandang bahwa memimpikan objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang diingini adalah demi maksud menghindarkan orang yang sedang tidur itu agar tidak terjaga. Bahkan dalam kehidupan terjaga, proses primer tidak sepenuhnya berhenti beroperasi, semenjak adalah perlu untuk mengetahuiyaitu memiliki suatu citra akanapa yang orang butuhkan sebelum dia dapat memutuskan untuk mendapatkannya. Orang lapar yang memiliki representasi mental akan makanan tidaklah berada dalam posisi yang lebih baik dalam memuaskan rasa laparnya daripada orang yang tidak tahu apa yang dia cari. Jika bukan karena proses primer, orang hanya bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhannya melalui tindakan trial-and-error yang serampangan. Karena proses primer itu pada dirinya sendiri tidak menghilangkan ketegangan secara efektif, proses sekunder kemudian dikembangkan. Tapi proses sekunder ini termasuk pada ego, karenanya kita akan menangguhkan pembahasan tentang hal ini di bagian selanjutnya.

Freud mengatakan hal lainnya tentang id. Id adalah sumber utama energi psikis dan tempat bermukimnya insting-insting. (Untuk diskusi tentang energi dan insting, lihat Bab 3, The Dynamics of Personality.) Id berhubungan lebih dekat dengan tubuh beserta proses-prosesnya daripada dengan dunia eksternal. Id tidak memiliki organisasi [kata benda dari organize] sebagaimana dibandingkan dengan ego dan super ego. Energi yang dimilikinya berada dalam keadaan yang mobil agar energi itu bisa dibuang atau dipindahkan dari satu objek ke objek yang lain. Id tidaklah berubah seiring waktu; ia tidak bisa dimodifisir melalui pengalaman karena ia tidak melakukan kontak dengan dunia eksternal. Akan tetapi ia bisa dikontrol dan diatur oleh ego.

Id tidaklah diatur melalui hukum-hukum rasio atau logika, dan ia tidak memiliki nilai-nilai, etika, atau moralitas. Ia diarahkan hanya oleh satu pertimbangan, untuk meraih pemuasan bagi kebutuhan-kebutuhan instingtual yang selaras dengan prinsip kenikmatan. Hanya ada dua isu yang mungkin bagi setiap proses id. Ia akan dilepaskan dalam tindakan atau wish-fulfillment, atau ia akan tunduk pada pengaruh ego, yang dalam kasus ini energi tersebut menjadi terkerangkeng alih-alih dibuang dengan segera.

Freud membahas id sebagai realitas psikis sejati. Dengan hal ini maksudnya adalah bahwa id merupakan realitas subjektif primer, dunia batiniah yang ada sebelum individu mengalami dunia eksternal. Tidak hanya insting-insting dan refleks-refleks bawaan lahir, tapi citra-citra yang dimunculkan oleh keadaan-keadaan penuh ketegangan bisa juga bersifat batiniah. Ini artinya bahwa seorang bayi yang lapar bisa memiliki suatu citra akan makanan tanpa harus belajar untuk mengasosiasikan makanan dengan rasa lapar. Freud percaya bahwa pengalaman yang diulang dengan kekerapan yang tinggi dan intens dalam diri orang dari beberapa generasi berturut-turut menjadi endapan permanen [permanent deposits] dalam id. Endapan-endapan baru dibuat dalam id selama hidup seseorang sebagai hasil dari mekanisme represi. (Represi  dibahas dalam bab 4, The Development of Personality.)

Id tidak hanya arkaik dari titik pandang sejarah ras, tapi ia juga arkaik dalam kehidupan seorang individu. Ia merupakan fondasi diatas mana personalitas dibangun. Id mempertahankan karakter infantil sepanjang hidupnya. Ia tidak bisa mentolelir ketegangan. Ia menginginkan pemuasan serta-merta. Ia menuntut, impulsif, irasional, asosial, mementingkan kepentingan diri, dan cinta akan kenikmatan. Ia merupakan bagian personalitas yang amat manja. Ia bisa melakukan apapun [omnipotent] karena ia memiliki kekuatan sihiriah yaitu memuaskan segenap keinginannya melalui imajinasi, fantasi, halusinasi, dan mimpi. Ia disamakan dengan oseanik, karena seperti laut, dia memuat segala hal. Ia pada dirinya sendiri tidak mengenal apapun yang eksternal. Id merupakan dunia dari realitas subjektif yang didalamnya pengejaran akan kenikmatan dan penghindaran rasa sakit merupakan satu-satunya fungsi yang diperhitungkan.

Freud mengakui bahwa id merupakan bagian personalitas yang tak bisa diakses dan amat gelap, dan semua yang telah didapat melalui studi atas mimpi dan gejala-gejala neurotik, hanyalah secuil bagian dari id. Akan tetapi, kita bisa melihat id sedang bekerja kapanpun seseorang melakukan sesuatu yang impulsif. Misalnya seseorang who acts on an impulse untuk melemparkan batu dari jendela atau memukul muka orang lain atau melakukan pemerkosaan berada dibawah dominasi id. Serupa itu pula, orang yang menghabiskan banyak waktu dengan bermimpi dan membangun kastil di langit, dia sedang dikontrol oleh id-nya. Id tidak berpikir. Ia hanya meng-ingin atau bertindak.

II. The Ego

Dua proses melalui mana id melepaskan/menghilangkan ketegangan, yaitu, aktivitas motor impulsif dan pembentukan citra (wish-fulfilment), tidaklah mencukupi dalam meraih tujuan-tujuan revolusioner dari reproduksi dan survival. Refleks-refleks maupun keinginan-keinginan tidaklah akan memberikan makanan bagi orang yang lapar juga tidak akan memberikan lawan jenis bagi orang yang terangsang secara seksual. Pada kenyataannya, prilaku impulsif bisa menghasilkan meningkatnya ketegangan (rasa sakit) dengan memunculkan hukuman yang datang dari dunia eksternal. Kecuali dia memiliki pengasuh yang permanen, seperti yang dia punyai ketika masa kanak, manusia harus mencari dan mendapatkan makanan, pasangan seks, dan banyak objek-tujuan lainnya yang diperlukan dalam hidup. Untuk mencapai misi-misi ini perlulah baginya untuk memperhitungkan realitas eksternal (lingkungan) dan, baik dengan cara menyesuaikan diri dengan dunia atau dengan menaklukan dunia, mendapatkan dari dunia itu apa yang dia butuhkan. Transaksi-transaksi antara orang dengan dunia mensyaratkan dibentuknya suatu sistem psikologis baru, ego.

In the well-adjusted person, ego merupakan aparatus eksekutif dari personalitas, mengatur dan mengontrol id dan superego dan membangun hubungan dengan dunia luar demi kepentingan keseluruhan personalitas beserta kebutuhan-kebutuhan jangka panjangnya. Ketika ego melakukan fungsi-fungsi eksekutifnya dengan bijak, harmoni dan persesuaian [dengan dunia] terbangun. Jika ego terlalu mengabdi dan tunduk pada kekuatan id, pada superego, atau pada dunia ekxternal, yang muncul adalah disharmoni dan maladjustment.

Alih-alih prinsip kenikmatan, ego diatur oleh prinsip realitas. Realitas artinya segala sesuatu yang ada. Tujuan dari prinsip realitas adalah untuk menangguhkan pelepasan energi sampai objek aktual yang dapat memuaskan kebutuhan telah ditemukan atau dihasilkan. Sebagai contoh, si bayi haruslah belajar untuk tidak memasukkan segala benda kedalam mulutnya sewaktu lapar. Dia harus belajar mengenali makanan, dan harus menangguhkannya sampai dia berhasil menemukan objek-objek yang bisa dicerna. Jika tidak, dia akan mengalami berbagai pengalaman yang menyakitkan.

Penangguhan tindakan berarti bahwa ego harus mampu mentolelir tensi [ketegangan] sampai ketegangan itu bisa dilepaskan melalui bentuk prilaku yang sesuai. The institution of the reality principle tidaklah berarti bahwa prinsip kenikmatan ditinggalkan. Prinsip itu hanya secara temporer ditangguhkan demi kepentingan prinsip realitas. Pada akhirnya, prinsip realitas membawa pada kenikmatan, meski orang harus mengalami beberapa ketaknyamanan sewaktu dia mencarinya dalam realitas.

Prinsip realitas dijalankan melalui suatu proses yang Freud sebut sebagai proses sekunder, karena proses ini dikembangkan setelah dan diatas proses-proses primer dari id. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan proses sekunder, perlulah untuk mengetahui sejauh mana proses primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki individu. Ia memuaskan kebutuhan hanya sampai pada titik ketika si individu memiliki suatu gambaran dari objek yang akan memuaskan kebutuhannya. Langkah selanjutnya adalah menemukan atau membuat objek tersebut, yaitu, to bring it into existence. Langkah ini dicapai melalui proses sekunder. Proses sekunder terdiri dari menemukan atau membuat realitas melalui suatu rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pemikiran dan rasio (kognisi). Proses sekunder tak lebih dan tak kurang dari apa yang biasa diistilahkan dengan berpikir atau pemecahan masalah.

Ketika orang menjalankan suatu rencana tindakan demi melihat apakah rencana itu akan berjalan baik atau tidak, dia dikatakan sedang terlibat dalam reality testing. Jika tes itu tidak bekerja, artinya, jika objek yang diinginkan tidak ditemukan, rancangan tindakan baru dibuat/dibagankan dan diuji kembali. Ini terus berlanjut sampai solusi yang korek (realitas) ditemukan dan ketegangan dilepaskan melalui aksi yang pas. Dalam kasus rasa lapar, tindakan yang pas itu akanlah terdiri dari memakan makanan.

Proses sekunder sanggup mencapai apa yang tak bisa dilakukan proses primer, yaitu, untuk memisahkan dunia subjektif pikiran dari dunia objektif realitas fisis. Proses sekunder tidaklah membuat kesalahan, seperti yang dilakukan proses primer, dalam memahami citra dari suatu objek seolah-olah citra tersebut adalah objek itu sendiri. The inauguration of the reality priciple, pemungsian proses sekunder, dan peran yang lebih signifikan bahwa dunia eksternal ikut memainkan peran dalam kehidupan seseorang, merangsang pertumbuhan dan elaboration of the psychological processes of perception, memory, thinking, and action.

Sistem perseptual mengembangkan daya-daya pembedaan [diskriminasi] yang lebih halus sehingga dunia eksternal dipersepsi dengan akurasi dan presisi yang lebih tinggi. Ia belajar untuk memindai dunia dengan lebih cepat dan memilih dari berbagai stimuli hanya bagian-bagian lingkungan yang relevan dengan permasalahan yang hendak dipecahkan. Disamping informasi yang diperoleh melalui organ-organ pengindraan, pemikiran mempergunakan informasi yang telah disimpan dalam sistem memory. Memori ditingkatkan [diperbaiki] melalui pembentukan asosiasi-asosiasi antara jejak-jejak memori, dan melalui pengembangan suatu sistem notasi: bahasa. Penilaian seseorang menjadi lebih tajam, sehinggal lebih mudahlah untuk membuat putusan-putusan clear-cut perihal apakah sesuatu itu betul [true] (actually exists) atau apakah sesuatu itu salah (does not exists). Rangkaian perubahan penting lainnya berlangsung dalam sistem motorik. Dia belajar untuk menangani otot-ototnya lebih cakap dan sanggup melakukan pola-pola gerakan yang lebih kompleks. All in all, adaptasi-adaptasi dalam fungsi-fungsi psikologis memampukan orang untuk berprilaku lebih intelejen dan lebih efisien dan untuk menguasai impuls-impulsnya dan lingkungannya demi kepentingan kepuasan dan rasa nikmat yang lebih tinggi. Ego bisa dipandang sebagai suatu organisasi kompleks dari proses-proses psikologis yang bertindak sebagai perantara antara id dan dunia eksternal.

Disamping proses-proses yang melayani realitas, terdapat satu fungsi ego yang mirip dengan proses primer dari id. Ini adalah fungsi yang menghasilkan fantasi dan mimpi. Fungsi ini bebas dari tuntutan-tuntutan pengujian realitas dan tunduk pada prinsip kenikmatan. Akan tetapi, proses ego ini berbeda dari proses primer karena ia membedakan antara fantasi dengan realitas, yang hal itu bukan merupakan kasus dalam proses primer. Fantasi yang dihasilkan ego ini dikenali sebagai mana adanya, yaitu, sebagai main-main dan kegiatan berkhayal yang mendatangkan kenikmatan. Meski semua fantasi itu tidak pernah disalahartikan sebagai realitas, mereka memberikan hari libur dari kegiatan-kegiatan ego lain yang lebih serius.

Meski ego sebagian besarnya merupakan produk dari interaksi orang dengan lingkungan, garis-garis perkembangannya ditentukan oleh garis keturunan dan dipandu oleh proses-proses pertumbuhan natural (maturation). Ini berarti bahwa setiap orang memiliki potensialitas-potensialitas-bawaan-lahir untuk berpikir dan bernalar. Realisasi dari potensialitas-potensialitas ini dicapai melalui pengalaman, pelatihan dan pendidikan. Semua pendidikan formal, misalnya, memiliki tujuan utamanya dalam mengajar orang bagaimana berpikir lebih efektif. Berpikir efektif terdiri dari sanggup sampai pada kebenaran, kebenaran yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mengada.

III. Superego

Institusi ketiga dari personalitas, superego, merupakan cabang moral atau judisial dari personalitas. Ia merepresentasikan ideal alih-alih hal-hal yang real, dan ia memperjuangkan kesempurnaan alih-alih untuk kenikmatan ataupun demi realitas. Superego adalah kode moral seseorang. Ia terbentuk sebagai konseksuensi dari asosiasi si anak pada standar-standar yang dimiliki orang tuanya perihal apa yang baik dan saleh dan apa yang buruk dan berdosa. Dengan mengasimilasikan otoritas moral orangtuanya, si anak mengganti otoritas yang dimiliki orang tua dengan otoritas batiniahnya sendiri. Internalisasi otoritas parental ini membuat si anak mampu mengontrol perilakunya segaris dengan keinginan-keinginan orangtua, dan dengan melakukan hal itu sekaligus pula mengukuhkan approval mereka dan menjauhkan ketaksenangan mereka. Dengan kata lain, si anak menjadi tahu bahwa dia tidak hanya harus mematuhi prinsip realitas untuk mendapatkan kesenangan dan menghindarkan rasa sakit, tapi bahwa dia juga harus berusaha berprilaku selaras dengan diktean-diktean moral dari orang tuanya. Panjangnya periode ketergantungan yang dialami si anak terhadap orang tuanya membantu pembentukan superego ini.

Superego terdiri dari dua subsistem, ego-ideal dan nurani [conscience]. Ego-ideal berhubungan dengan konsepsi-konsepsi yang dipunyai anak perihal apa yang oleh orangtuanya dianggap baik secara moral. Orang tua menyampaikan standar-standar kebajikan mereka kepada si anak melalui pemberian ganjaran atas tindakan-tindakan yang selaras dengan standar-standar ini. Sebagai contoh, jika si anak secara konsisten diganjar karena bersih dan rapi maka kebersihan dan kerapian pantas menjadi salah satu dari ideal yang dimiliki si anak. Nurani, dilain pihak, berhubungan dengan konsepsi-konsepsi yang dimiliki si anak tentang apa yang orang tua rasakan sebagai buruk secara moral, dan semua ini dkukuhkan melalui pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan hukuman. Jika dia kerap dihukum karena kotor, maka kotor dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Ego-ideal dan nurani merupakan sisi yang berlawanan dari mata uang yang sama.

Ganjaran dan hukuman apakah yang dipakai orangtua dalam mengontrol pembentukan superego? Ada dua macam, fisik dan psikologis. Ganjaran fisik terdiri dari objek-objek yang diinginkan anak. Objek-objek itu seperti misalnya makanan, mainan, ibu, ayah, belaian, dan permen. Hukuman fisik adalah tindakan-tindakan menyakitkan pada tubuh anak seperti misalnya spankings dan diambilnya hal-hal yang diinginkan si anak. Ganjaran psikologis yang pokok adalah ganjaran berupa persetujuan parental yang diungkapkan melalui kata-kata ataupun melalui ekspresi fasial. Persetujuan semacam itu merepresentasikan cinta. Dengan cara yang sama, menyurutnya cinta merupakan bentuk utama dari hukuman psikologis. Ini diekspresikan melalui hardikan verbal atau tatapan yang tak setuju*. Tentu saja ganjaran dan hukuman fisik juga bisa berarti cinta atau surutnya** cinta bagi si anak. Anak yang menerima spanking tidak hanya terluka tapi dia juga akan merasa bahwa orang tuanya sudah membuangnya, yaitu, menyurutkan cintanya. Akan tetapi mengalirnya dan menyurutnya cinta [afeksi] mempunyai sumber kekuatannya atas anak terutama karena kaitannya dengan pemuasan atau ketakpuasan atas kebutuhan-kebutuhan dasar. Seorang anak menginginkan cinta kasih ibunya karena dia sudah tahu [belajar] bahwa ibu yang tak mencinta suka lamban dalam memberi makan dan karenanya memperpanjang kondisi penuh ketegangan yang menyakitkan. Serupa itu pula, seorang anak berusaha keras untuk tidak membuat ayahnya tidak setuju [disapproval] karena dia tahu bahwa seorang ayah yang tak setuju bisa membuat kesakitan dengan men-spankingnya. In the final analysis,  ganjaran dan hukuman, darimanapun sumbernya, merupakan kondisi-kondisi yang menghilangkan atau meningkatkan ketegangan batiniah.

Agar superego memiliki kontrol yang sama atas diri si anak seperti halnya yang dimiliki oleh orang tua, perlu bagi superego untuk memiliki kekuatan dalam memaksakan aturan-aturan moralnya. Seperti orang tua, superego memaksakan aturan-aturan moralnya melalui ganjaran dan hukuman. Ganjaran dan hukuman ini diarahkan kepada ego karena ego, berkat kontrolnya atas aksi-aksi seseorang, dipandang bertanggungjawab atas berlangsungnya tindak-tindak moral dan immoral. Jika suatu tindakan selaras dengan standar-standar etis dari superego, ego diberi ganjaran. Akan tetapi tidaklah perlu bagi ego untuk melakukan suatu aksi fisik aktual melulu agar dirinya diganjar atau dihukum oleh superego. Ego bisa saja diganjar atau diberi hukuman semata-mata karena memikirkan melakukan sesuatu. Di mata superego, suatu  pikiran sama dengan perbuatan. Dalam hal ini superego mirip dengan id, yang juga tidak membuat perbedaan antara subjektif dengan objektif. Ini menjelaskan kenapa orang yang menjalani hidup penuh kebajikan mengalami banyak serangan dari nuraninya. Superego menghukum ego karena memikirkan pikiran-pikiran buruk meski pikiran-pikiran itu tidak pernah dinyatakan dalam perbuatan.

Ganjaran dan hukuman apakah yang tersedia bagi superego? Bisa fisik atau psikologis. Superego bisa berkata, in effect, kepada seseorang yang segaris dengan jalan kebenaran, Sekarang kamu sudah lama telah berlaku baik, kamu akan diberi kesempatan untuk menyenangkan diri. Ini bisa berupa makan di restoran yang mahal, istirahat yang panjang, atau pemuasan seksual. Liburan, sebagai contohnya, biasanya dipandang sebagai ganjaran bagi kerja keras.

Kepada para pelanggar moral superego mungkin bisa berkata, in effect, Sekarang kamu sudah berbuat jahat, kamu akan dihukum berupa pengalaman-pengalaman yang tak menyenangkan yang akan menimpa dirimu. Kesialan-kesialan itu mungkin saja berupa sakit perut, luka, atau hilangnya barang-barang yang amat penting. Adalah pandangan Freud terhadap proses-proses personalitas yang halus dan njlimet inilah yang menyingkapkan alasan penting kenapa orang jatuh sakit, mengalami kecelakaan, dan kehilangan benda-benda. Semua kesialan itu sedikit-banyak bisa melibatkan tindakan menghukum-diri karena telah melakukan sesuatu yang salah. Contoh dari ini adalah seorang pemuda yang menabrakkan mobilnya tak lama setelah dia melakukan hubungan seksual dengan seorang gadis. Tentu saja, orang tidak menyadari kaitan antara memiliki perasaan bersalah dengan mengalami kecelakaan.

Ganjaran dan hukuman psikologis yang dilakukan superego merupakan rasa-perasaan pride [bangga] dan perasaan bersalah atau inferioritas. Ego menjadi lega karena bangga ketika dia telah berlaku saleh atau membayangkan pikiran-pikiran yang saleh, dan ia merasa malu akan dirinya sendiri ketika dia takluk pada godaan. Bangga adalah ekuivalen dengan cinta-diri, dan rasa-bersalah atau inferioritas dengan benci-diri; semua itu merupakan representasi-representasi batiniah dari cinta dan penolakan parental.

Superego merupakan representatif nilai-nilai dan ideal-ideal tradisional masyarakat dalam personalitas yang diwariskan dari orang tua kepada anak. Dalam kaitan ini haruslah diingat bahwa superego yang dimiliki anak bukanlah refleksi dari tindak-tanduk orang tua tapi lebih merupakan superego yang dimiliki para orangtua. Seorang dewasa mungkin mengatakan suatu hal dan melakukan hal lain, tapi adalah apa yang dia katakan, yang didukung oleh ancaman atau ganjaran, yang penting dalam pembentukan superego si anak. Para guru, pendeta, polisisebenarnya setiap orang yang posisinya memiliki otoritas atas anakbisa menempati peran orang tua. Reaksi-reaksi anak pada figur-figur otoritas ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang telah dia asimilasikan sebelumnya dari orang tua.

Apa tujuan dari superego? Utamanya dia melayani tujuan-tujuan mengontrol dan mengatur impuls-impuls yang ekspresi-ekspresinyajika tak dikontrolakan mebahayakan stabilitas masyarakat. Impuls-impuls ini adalah seks dan agresi. Anak yang tak patuh, memberontak, atau curious secara seksual dipandang sebagai buruk dan tak bermoral. Orang dewasa yang secara seksual promiscious [dengan siapa saja; tak pilih-pilih] atau yang melanggar aturan/hukum dan yang pada umumnya desktruktif dan antisosial dipandang sebagai orang yang jahat. Superego, dengan menerakan pembatasan-pembatasan batiniah atas anarki dan lawlessness, membuat orang mampu untuk menjadi anggota masyarakat yang patuh akan hukum.

Jika id dipandang sebagai produk evolusi dan representatif psikologis dari pewarisan biologis*, ego merupakan hasil dari interaksi orang dengan realitas objektif dan wilayah dari proses-proses mental yang lebih tinggi, maka superego bisa disebut sebagai produk dari sosialisasi dan sarana bagi tradisi kultural.

Pembaca haruslah ingat bahwa tak ada batasan-batasan yang tegas antara ketiga sistem ini. Hanya karena mereka memiliki nama-nama yang berbeda tidaklah berarti bahwa mereka merupakan entitas-entitas yang terpisah. Nama-nama, id, ego dan superego, sebenarnya tidaklah menandakan sesuatu. Semua itu semata-mata cara yang gampang untuk menunjukkan proses-proses, fungsi, mekanisme dan dinamisme  yang berbeda dalam personalitas secara keseluruhan.

The ego is formed out of the id and the superego is formed out of the ego. Mereka terus berinteraksi dan bercampur satu sama lain sepanjang hidup. Interaksi-interaksi dan percampuran-percampuran ini, sebagaimana pula oposisi-oposisi yang terkembang diantara ketiga sistem tersebut, menjadi pokok pembicaraan dari bab selanjutnya.


Referensi
Freud sigmund, (1990) The Interpretation of Dreams, Bab 7. London: The Hogarth Press, 1953.
Freud, Sigmund. (1911) Formulations Regarding the Two Principles in Mental Functioning. Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal.13-21. London: The Hogarth Press, 1946.
Freud, Sigmund. (1923) The Ego and the Id. London: The Hogarth Press, 1947.
Freud, Sigmund. (1925) A Note upon the Mystic Writing Pad.��  Dalam Collected Papers, Vol. V, hal. 175-80. London: The Hogarth Press, 1950.
Freud, Sigmund. (1925) Negation. Dalam Collected papers, Vol. V, hal. 181-85. London: The Hogarth Press, 1950.
Freud, Sigmund. (1933) New Introductory Lectures on Psycho-analysis, Bab. 3. New York : W.W. Norton & Company, Inc., 1933.

Freud, Sigmund. (1938) An Outline of Psychoanalysis, Bab. 1. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1949.
* Disapproving looks.

** withrawal

* biological endowment


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar, terbuka dengan masukan, kritik, dan saran.