Senin, 07 Januari 2013

Mephistopheles- Faust ~Johan Wolfgang Von Goethe

Dalam setiap pakaian aku betul-betul sakit
Merasakan kehidupan bumi yang sempit
Untuk cuma bermain-main, aku terlalu tua
Untuk tidak berhasrat, aku terlalu muda

 
(Faust karya Goethe, terjemahan Agam Wispi)

Syahdan, tersebutlah seorang tabib modern bernama Doktor Faust. Begitu hausnya akan ilmu, begitu rindunya akan pengetahuan, dia bersedia melego jiwanya kepada sang iblis agar dapat merengkuh kemudaan dan pengetahuan selama mungkin. Persekutuannya dengan Mephistopheles, sang iblis, kemudian berhasil membuat Faust mewujudkan segala keinginan dan kegairahan yang membeludak.

Demikianlah kisah Faust karya Goethe yang diterjemahkan oleh penyair Agam Wispi dan diluncurkan awal Desember silam di Teater Utan Kayu, Jakarta. Buku yang digarap atas kerja sama antara Goethe Institute dan Yayasan Kalam ini diluncurkan dalam rangka 250 tahun kelahiran sastrawan Jerman terkemuka, Johann Wolfgang von Goethe.

Sosok Faust, yang konon hidup pada abad ke-16, begitu dahsyat, nyaris legendaris hingga berbagai pujangga Eropa menulis ulang kehidupannya dengan berbagai interpretasi, gaya, dan misteri. Siapakah Faust? Apakah dia memang seorang yang berjiwa gelap hingga sudi bersekutu dengan sang iblis, ataukah dia sekadar terjebak oleh rayuan iblis durjana? Jika dia memang haus ilmu pengetahuan, kenapa dia tak mencoba mengoptimalkan kemampuan dirinya? Kenapa dia berpaling kepada iblis? Apakah Faust tergoda dan terjebak oleh iblis? Lalu, apakah Faust memang betul mencintai sang gadis cantik, Margaretha, ataukah dia hanya memanfaatkan keluguannya? Di Indonesia, lakon ini juga pernah diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh penyair Abdulhadi W.M. dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1990. Kisah tentang doktor yang kompleks ini beredar secara diam-diam di kalangan intelektual Eropa. Adalah Christopher Marlowe, sastrawan Inggris angkatan William Shakespeare, yang pertama kali menulis sebuah interpretasi tentang sosok Faust dalam lakon berjudul The Tragic History of Doctor Faustus.

Seabad kemudian, dramawan Jerman Gotthold Lessing mencoba menulis sebuah lakon tentang Faust yang, sayangnya, tak sempat rampung. Goethe (1749-1832), yang disebut Ignas Kleden sebagai satu dari tiga dewa yang menghuni ”Olympus” sastra Barat, kemudian membangkitkan legenda ini dengan cemerlang (lihat tulisan Ignas Kleden tentang profil Goethe: Goethe:Hidup-Mati bersama Alam). Pada zaman inilah, yang disebut sebagai zaman renaissance (”abad pencerahan”), sosok Faust kemudian dianggap sebagai sebuah personifikasi semangat Barat yang sangat bergairah terhadap keagungan ilmu pengetahuan.

Pada abad ke-20, tepatnya tahun 1947, adalah sastrawan Jerman Thomas Mann—yang namanya mencuat dengan karyanya Death in Venice—yang membuat interpretasi lain tentang Faust dalam bentuk novel, <=”" i=”">

Namun, hingga kini, jika sosok Faust itu memang benar pernah ada, dia lebih ”berutang” kepada dramawan Marlowe dan sastrawan Goethe daripada kepada pencapaiannya sendiri. Karena persekutuannya dengan sang iblis hingga membuat langkah-langkah yang gelap dan kejam—antara lain meninggalkan sang kekasih dalam keadaan hamil di penjara (dalam lakon Faust II)—Faust sebetulnya, untuk sebagian pembaca, bukanlah seorang hero seperti dalam sastra klasik umumnya. Dia adalah sosok tragis yang kompleks, yang penuh matra dan yang ”bosan” dengan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya.

”Ah, semua telah kupahami!
Filsafat, Ilmu hukum dan kedokteran
Bahkan sayangnya juga Teologi
Dengan sangat giat, habis tuntas kupelajari
Beginilah aku sekarang, si gila yang malang
Pandai seperti dulu, tak lebih, tak kurang…”

 
(Faust, halaman 14)

Namun, dari sisi yang positif, Faust sering dianggap sebagai perwakilan dari abad pencerahan. R.M. Dawkins menyebut Faust sebagai ”sebuah kisah manusia renaissance yang harus menjadi korban gaya Abad Tengah karena dirinya sendiri sesungguhnya berjiwa Abad Tengah.”

Pada 1860, pemikir Jacob Burchardt dalam Civilization of the Renaissance in Italy menuliskan bahwa renaissance adalah titik ”penemuan dunia oleh manusia”. Inilah sebuah masa ketika individualisme dan keagungan manusia mampu mengatasi serangkaian tradisi yang menyubordinasikan kemanusiaan. Abad ini dianggap sebagai masa kelahiran sastra sebagai sebuah profesi. Chaucer adalah seorang penulis ”amatir” yang hanya bisa menulis setelah bekerja, tetapi Spenser, Shakespeare, Milton, dan tentu saja Marlowe menulis sebagai sebuah profesi, dan mengukir karirnya dengan pena dan bangga akan karyanya.

Sementara pada Abad Tengah seni rupa lebih sering diwakili oleh melulu lukisan wajah spiritual: bidadari dengan sayap yang menunjukkan makhluk spiritual—tanpa ”potret manusia”—pada abad pencerahan para perupa berani melukiskan manusia secara fisik karena dengan pengakuan kepada Yang Kuasa, justru keberadaan manusia harus diakui lengkap dengan jiwa dan raganya.

Penyair Agam Wispi, yang menerjemahkan lakon Faust dan mempelajari sastra Jerman, menganggap Faust sebagai wakil semangat pencerahan untuk melawan absolutisme feodal pada zamannya. Sesuai dengan perkembangan zamannya, Goethe belajar dari pendahulunya dan ikut berjuang meyakinkan raja tentang perkembangan zaman yang diwakili dengan pergerakan sastra dan pencerahan secara filsafat, pemikiran baru ekonomi, kenegaraan, dan kebudayaan. ”Ini adalah sebuah periode zaman,” demikian tutur Agam Wispi kepada Dwi Arjanto dari TEMPO.

Mungkin ini karena Faust akhirnya bisa mewakili zamannya, sesuai dengan masa interpretasi sang penulis. Sementara lakon Faust karya Goethe selalu dianggap sebagai sebuah interpretasi abad pencerahan, Doktor Faustus karya Marlowe lebih banyak berisi kritik terhadap gereja. Meski sosok Faustus digambarkan sebagai manusia yang haus ilmu pengetahuan, Marlowe juga menampilkan tabib ini sebagai sosok yang absurd, konyol, dan ”diperbudak” oleh nafsu kebesaran. Ejekan Marlowe kemudian menampilkan beberapa adegan yang humoristis meski lebih bersifat komedi yang gelap. Tetapi, meski Faustus karya Marlowe hancur oleh kekonyolannya, Marlowe tetap memperlihatkan kompleksitas sosok ini dengan menampilkan ide-ide Faustus yang imajinatif dan penuh energi.

Dibandingkan dengan Goethe, saya kira Marlowe menampilkan Faust dengan cara yang lebih kompleks dan lebih tragis. Faust, dalam interpretasi Marlowe, adalah seorang manusia yang disebut Reinhold Niebuhr sebagai sebuah sosok ”beyond tragedy”; sebuah pengertian bahwa manusia itu mortal dan terbatas, tetapi mereka berpretensi bahwa dirinya tak terbatas. Manusia adalah sosok yang tercipta oleh ruang dan waktu, yang perspektifnya terkondisi oleh lingkungannya, tetapi manusia bukan sekadar narapidana dari pagar-pagar ruang dan waktu. Dia tak akan puas dengan ”kebenaran”, tetapi dia akan ”seek the truth”, mencari kebenaran. Di dalam proses mencari kebenaran inilah kemudian manusia bergulat tentang keberadaan dan hubungannya dengan Sang Pencipta (yang diakui atau tak diakuinya). Dan Faust, dalam interpretasi Marlowe, adalah sosok yang bergulat untuk terus-menerus mencari, meski ia melalui sebuah proses yang ganjil.

”This night I’ll conjure though I die therefor”

Itu kalimat Faustus yang memahami bahwa ada sebuah kepentingan untuk mencari dan mencapai, meski harus melalui jalan apa pun.

Kenapa Faustus memilih jalan untuk bersekutu dengan setan dan tak mengeksplorasi kemampuan manusia hingga optimal? Bagi kritikus sastra Sylvan Barnett, beberapa adegan lakon Marlowe memperlihatkan Faustus ”terjebak” oleh sang iblis, meski tetap diperlihatkan bahwa Faustus dengan penuh kesadaran bertindak dan bertingkah laku semena-mena dan siap menanggung risikonya.

”Twas thy temptation
Hath robben me of eternal happiness…”

Demikian pengakuan Faustus kepada Mephistopheles. Dan Mephistopheles menjawab: ”I do confess it Faustus, and rejoice
Twas I, that when thou wert I’ the way to heaven
Dammed up thy passage. When thou took’st the book
To view the scriptures, then I turned the leaves
And led thine eye..”

Maka, Faustus—dalam adegan ini sebagai ”korban” rayuan sang iblis—karena hausnya akan hal-hal yang megah dalam ilmu, mendapati kalimat iblis bersenyawa dalam darahnya.

Bagaimanapun, baik Faust interpretasi Marlowe, Goethe, maupun Thomas Mann merupakan satu sosok manusia yang patut dipelajari sebagai sebuah kecenderungan manusia yang universal. Jika kita menyetujui pemikiran Niebuhr bahwa manusia bukan narapidana dari penjara ruang dan waktu, ketiga pujangga besar itu dengan sendirinya akan memiliki interpretasi atas sosok Faust sesuai dengan zamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar, terbuka dengan masukan, kritik, dan saran.