Dalam setiap pakaian aku betul-betul sakit
Merasakan kehidupan bumi yang sempit
Untuk cuma bermain-main, aku terlalu tua
Untuk tidak berhasrat, aku terlalu muda
Merasakan kehidupan bumi yang sempit
Untuk cuma bermain-main, aku terlalu tua
Untuk tidak berhasrat, aku terlalu muda
(Faust karya Goethe, terjemahan Agam Wispi)
Syahdan, tersebutlah seorang tabib modern bernama Doktor Faust.
Begitu hausnya akan ilmu, begitu rindunya akan pengetahuan, dia bersedia
melego jiwanya kepada sang iblis agar dapat merengkuh kemudaan dan
pengetahuan selama mungkin. Persekutuannya dengan Mephistopheles, sang
iblis, kemudian berhasil membuat Faust mewujudkan segala keinginan dan
kegairahan yang membeludak.
Demikianlah kisah Faust karya Goethe yang diterjemahkan oleh penyair
Agam Wispi dan diluncurkan awal Desember silam di Teater Utan Kayu,
Jakarta. Buku yang digarap atas kerja sama antara Goethe Institute dan
Yayasan Kalam ini diluncurkan dalam rangka 250 tahun kelahiran sastrawan
Jerman terkemuka, Johann Wolfgang von Goethe.
Sosok Faust, yang konon hidup pada abad ke-16, begitu dahsyat, nyaris
legendaris hingga berbagai pujangga Eropa menulis ulang kehidupannya
dengan berbagai interpretasi, gaya, dan misteri. Siapakah Faust? Apakah
dia memang seorang yang berjiwa gelap hingga sudi bersekutu dengan sang
iblis, ataukah dia sekadar terjebak oleh rayuan iblis durjana? Jika dia
memang haus ilmu pengetahuan, kenapa dia tak mencoba mengoptimalkan
kemampuan dirinya? Kenapa dia berpaling kepada iblis? Apakah Faust
tergoda dan terjebak oleh iblis? Lalu, apakah Faust memang betul
mencintai sang gadis cantik, Margaretha, ataukah dia hanya memanfaatkan
keluguannya? Di Indonesia, lakon ini juga pernah diterjemahkan dari
bahasa Inggris oleh penyair Abdulhadi W.M. dan diterbitkan oleh Balai
Pustaka pada 1990. Kisah tentang doktor yang kompleks ini beredar secara
diam-diam di kalangan intelektual Eropa. Adalah Christopher Marlowe,
sastrawan Inggris angkatan William Shakespeare, yang pertama kali
menulis sebuah interpretasi tentang sosok Faust dalam lakon berjudul The
Tragic History of Doctor Faustus.
Seabad kemudian, dramawan Jerman Gotthold Lessing mencoba menulis
sebuah lakon tentang Faust yang, sayangnya, tak sempat rampung. Goethe
(1749-1832), yang disebut Ignas Kleden sebagai satu dari tiga dewa yang
menghuni ”Olympus” sastra Barat, kemudian membangkitkan legenda ini
dengan cemerlang (lihat tulisan Ignas Kleden tentang profil Goethe:
Goethe:Hidup-Mati bersama Alam). Pada zaman inilah, yang disebut sebagai
zaman renaissance (”abad pencerahan”), sosok Faust kemudian dianggap
sebagai sebuah personifikasi semangat Barat yang sangat bergairah
terhadap keagungan ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20, tepatnya tahun 1947, adalah sastrawan Jerman Thomas
Mann—yang namanya mencuat dengan karyanya Death in Venice—yang membuat
interpretasi lain tentang Faust dalam bentuk novel, <=”" i=”">
Namun, hingga kini, jika sosok Faust itu memang benar pernah ada, dia
lebih ”berutang” kepada dramawan Marlowe dan sastrawan Goethe daripada
kepada pencapaiannya sendiri. Karena persekutuannya dengan sang iblis
hingga membuat langkah-langkah yang gelap dan kejam—antara lain
meninggalkan sang kekasih dalam keadaan hamil di penjara (dalam lakon
Faust II)—Faust sebetulnya, untuk sebagian pembaca, bukanlah seorang
hero seperti dalam sastra klasik umumnya. Dia adalah sosok tragis yang
kompleks, yang penuh matra dan yang ”bosan” dengan ilmu-ilmu yang sudah
dikuasainya.
”Ah, semua telah kupahami!
Filsafat, Ilmu hukum dan kedokteran
Bahkan sayangnya juga Teologi
Dengan sangat giat, habis tuntas kupelajari
Beginilah aku sekarang, si gila yang malang
Pandai seperti dulu, tak lebih, tak kurang…”
Filsafat, Ilmu hukum dan kedokteran
Bahkan sayangnya juga Teologi
Dengan sangat giat, habis tuntas kupelajari
Beginilah aku sekarang, si gila yang malang
Pandai seperti dulu, tak lebih, tak kurang…”
(Faust, halaman 14)
Namun, dari sisi yang positif, Faust sering dianggap sebagai
perwakilan dari abad pencerahan. R.M. Dawkins menyebut Faust sebagai
”sebuah kisah manusia renaissance yang harus menjadi korban gaya Abad
Tengah karena dirinya sendiri sesungguhnya berjiwa Abad Tengah.”
Pada 1860, pemikir Jacob Burchardt dalam Civilization of the
Renaissance in Italy menuliskan bahwa renaissance adalah titik ”penemuan
dunia oleh manusia”. Inilah sebuah masa ketika individualisme dan
keagungan manusia mampu mengatasi serangkaian tradisi yang
menyubordinasikan kemanusiaan. Abad ini dianggap sebagai masa kelahiran
sastra sebagai sebuah profesi. Chaucer adalah seorang penulis ”amatir”
yang hanya bisa menulis setelah bekerja, tetapi Spenser, Shakespeare,
Milton, dan tentu saja Marlowe menulis sebagai sebuah profesi, dan
mengukir karirnya dengan pena dan bangga akan karyanya.
Sementara pada Abad Tengah seni rupa lebih sering diwakili oleh
melulu lukisan wajah spiritual: bidadari dengan sayap yang menunjukkan
makhluk spiritual—tanpa ”potret manusia”—pada abad pencerahan para
perupa berani melukiskan manusia secara fisik karena dengan pengakuan
kepada Yang Kuasa, justru keberadaan manusia harus diakui lengkap dengan
jiwa dan raganya.
Penyair Agam Wispi, yang menerjemahkan lakon Faust dan mempelajari
sastra Jerman, menganggap Faust sebagai wakil semangat pencerahan untuk
melawan absolutisme feodal pada zamannya. Sesuai dengan perkembangan
zamannya, Goethe belajar dari pendahulunya dan ikut berjuang meyakinkan
raja tentang perkembangan zaman yang diwakili dengan pergerakan sastra
dan pencerahan secara filsafat, pemikiran baru ekonomi, kenegaraan, dan
kebudayaan. ”Ini adalah sebuah periode zaman,” demikian tutur Agam Wispi
kepada Dwi Arjanto dari TEMPO.
Mungkin ini karena Faust akhirnya bisa mewakili zamannya, sesuai
dengan masa interpretasi sang penulis. Sementara lakon Faust karya
Goethe selalu dianggap sebagai sebuah interpretasi abad pencerahan,
Doktor Faustus karya Marlowe lebih banyak berisi kritik terhadap gereja.
Meski sosok Faustus digambarkan sebagai manusia yang haus ilmu
pengetahuan, Marlowe juga menampilkan tabib ini sebagai sosok yang
absurd, konyol, dan ”diperbudak” oleh nafsu kebesaran. Ejekan Marlowe
kemudian menampilkan beberapa adegan yang humoristis meski lebih
bersifat komedi yang gelap. Tetapi, meski Faustus karya Marlowe hancur
oleh kekonyolannya, Marlowe tetap memperlihatkan kompleksitas sosok ini
dengan menampilkan ide-ide Faustus yang imajinatif dan penuh energi.
Dibandingkan dengan Goethe, saya kira Marlowe menampilkan Faust
dengan cara yang lebih kompleks dan lebih tragis. Faust, dalam
interpretasi Marlowe, adalah seorang manusia yang disebut Reinhold
Niebuhr sebagai sebuah sosok ”beyond tragedy”; sebuah pengertian bahwa
manusia itu mortal dan terbatas, tetapi mereka berpretensi bahwa dirinya
tak terbatas. Manusia adalah sosok yang tercipta oleh ruang dan waktu,
yang perspektifnya terkondisi oleh lingkungannya, tetapi manusia bukan
sekadar narapidana dari pagar-pagar ruang dan waktu. Dia tak akan puas
dengan ”kebenaran”, tetapi dia akan ”seek the truth”, mencari kebenaran.
Di dalam proses mencari kebenaran inilah kemudian manusia bergulat
tentang keberadaan dan hubungannya dengan Sang Pencipta (yang diakui
atau tak diakuinya). Dan Faust, dalam interpretasi Marlowe, adalah sosok
yang bergulat untuk terus-menerus mencari, meski ia melalui sebuah
proses yang ganjil.
”This night I’ll conjure though I die therefor”
Itu kalimat Faustus yang memahami bahwa ada sebuah kepentingan untuk mencari dan mencapai, meski harus melalui jalan apa pun.
Kenapa Faustus memilih jalan untuk bersekutu dengan setan dan tak
mengeksplorasi kemampuan manusia hingga optimal? Bagi kritikus sastra
Sylvan Barnett, beberapa adegan lakon Marlowe memperlihatkan Faustus
”terjebak” oleh sang iblis, meski tetap diperlihatkan bahwa Faustus
dengan penuh kesadaran bertindak dan bertingkah laku semena-mena dan
siap menanggung risikonya.
”Twas thy temptation
Hath robben me of eternal happiness…”
Hath robben me of eternal happiness…”
Demikian pengakuan Faustus kepada Mephistopheles. Dan Mephistopheles menjawab: ”I do confess it Faustus, and rejoice
Twas I, that when thou wert I’ the way to heaven
Dammed up thy passage. When thou took’st the book
To view the scriptures, then I turned the leaves
And led thine eye..”
Twas I, that when thou wert I’ the way to heaven
Dammed up thy passage. When thou took’st the book
To view the scriptures, then I turned the leaves
And led thine eye..”
Maka, Faustus—dalam adegan ini sebagai ”korban” rayuan sang
iblis—karena hausnya akan hal-hal yang megah dalam ilmu, mendapati
kalimat iblis bersenyawa dalam darahnya.
Bagaimanapun, baik Faust interpretasi Marlowe, Goethe, maupun Thomas
Mann merupakan satu sosok manusia yang patut dipelajari sebagai sebuah
kecenderungan manusia yang universal. Jika kita menyetujui pemikiran
Niebuhr bahwa manusia bukan narapidana dari penjara ruang dan waktu,
ketiga pujangga besar itu dengan sendirinya akan memiliki interpretasi
atas sosok Faust sesuai dengan zamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar, terbuka dengan masukan, kritik, dan saran.