A PRIMER OF FRUEDIAN
Bab 3 The Dynamics of Personality
Bab 3 The Dynamics of Personality
Di bab pertama kita membahas organisasi personalitas dan
memerikan beberapa proses-proses dan fungsi-fungsi menonjol dari tiga
bagiannya, id, ego, dan superego. Dalam bab ini tujuan kami adalah
memperlihatkan bagaimana ketiga sistem ini beroperasi dan bagaimana mereka
berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan.
I. Energi psikis
Organisme manusia adalah sistem energi yang rumit,
mengasalkan energinya dari makanan yang dimakan dan menghabiskannya untuk
tujuan-tujuan seperti sirkulasi, respirasi, pencernaan, konduksi sarafiah,
aktivitas otot, persepsi, mengingat, dan berpikir. Tak ada alasan untuk percaya
bahwa energi yang membuat organisme bergerak pada dasarnya berbeda dari energi
yang menjalankan alam semesta. Energi mengambil beberapa bentuk�mekanik,
termal, elektrik, dan kimiawi�dan bisa diubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Bentuk energi yang mengoperasikan tiga sistem personalitas disebut energi
psikis. Tak ada yang mistikal, vitalistik, atau supernatural perihal konsep
energi psikis ini. Ia menjalankan kegiatan atau sanggup menjalankan kegiatan
seperti yang dilakukan bentuk energi lainnya. Energi psikis menjalankan
kerja-kerja psikologis�seperti misalnya, berpikir, mempersepsi, dan mengingat�sama
halnya dengan energi mekanik menjalankan kerja-kerja mekanis.
Orang bisa mebicarakan transformasi energi ragawi menjadi
energi psikis sebagai mana pula transformasi energi psikis menjadi energi
ragawi. Transformasi-transformasi ini berlangsung berkelanjutan. Kita berpikir
(energi psikis) dan kemudian bertindak (energi perototan), atau kita dirangsang
oleh sepolaan gelombang-gelombang suara (energi mekanis) dan kita mendengar
(energi psikis) seseorang berbicara. Hanya bagaimana semua transformasi ini
berlangsung, tidaklah diketahui.
II. Insting
Segenap energi yang digunakan untuk menjalankan kerja dari
personalitas didapatkan dari insting. Insting didefinisikan sebagai suatu
kondisi bawaan lahir yang menggariskan arah pada proses-proses psikologis.
Insting seks, misalnya, mengarahkan proses-proses psikologis seperti
mempersepsi, mengingat, dan berpikir pada tujuan konsumasi seksual. Insting
seperti sungai yang mengalir sepanjang cekungan tanah yang berkelok.
Insting memiliki sumber, tujuan, objek, dan impetus
[pendorong]. Sumber-sumber utama energi instingtual adalah kebutuhan-kebutuhan
atau impuls-impuls ragawi. Suatu kebutuhan atau impuls merupakan suatu proses
ekscitatoris* dalam jaringan atau organ tubuh yang melepaskan energi yang
disimpan dalam tubuh. Sebagai contoh, kondisi fisis dari rasa lapar
membangkitkan insting lapar dengan memberikannya energi. Energi instingtual ini
kemudian menanamkan arah-tujuan pada proses psikologis yang berupa persepsi,
memori dan pikiran. Orang mencari makanan, berusaha mengingat dimana makanan
pernah ditemukan pada kejadian sebelumnya, atau merancangkan tahapan tindakan
yang melaluinya makanan bisa diperoleh.
Tujuan akhir dari insting adalah dihilangkannya kebutuhan
ragawi. Tujuan dari insting lapar, misalnya, adalah untuk menghilangkan kondisi
fisis rasa lapar. Ketika hal ini telah dilakukan, tak ada lagi energi ragawi
yang dilepaskan, insting lapar hilang, dan individu kembali mencapai keadaan
kedamaian [quiescence] psikologis dan fisiologis. Dinyatakan dengan cara lain,
tujuan insting adalah untuk mengeliminir sumber-sumber insting tersebut.
Disamping tujuan akhir dari quiescence, Freud mengamati
bahwa terdapat pula tujuan-tujuan turunan yang harus dipenuhi sebelum tujuan
akhir/utama bisa dicapai. Sebelum rasa lapar bisa diredakan perlulah untuk
menemukan makanan dan memasukkannya ke dalam mulut. Menemukan dan mencerna
makanan adalah hal-hal turunan dalam mengeliminir rasa lapar. Freud menyebut
tujuan akhir dari insting sebagai tujuan internal, dan tujuan-tujuan turunan
insting sebagai tujuan eksternal.
Insting dikatakan bersifat konservatif karena tujuannya
adalah mengembalikan seseorang pada keadaan yang quiescent yang sudah ada
sebelum gangguan yang ditimbulkan proses ekcitatoris. The course of an instinct
selalulah dari keadaan penuh ketegangan ke keadaan relaxation. Dalam beberapa
contoh, terutama dalam pemuasan impuls-impuls seks, terdapat ketegangan yang
menggunung sebelum terjadinya pelepasan terakhir. Hal ini tidaklah membantah
prinsip umum dari fungsi yang dijalankan insting, karena tujuan terakhir dari
dorongan seks adalah relief from excitation no matter how much tension may be
generated prior to the final discharge. In fact, orang belajar memupuk banyak
ketegangan karena pelepasannya yang tiba-tiba mendatangkan rasa nikmat yang
tinggi.
Dengan kata lain, insting selalu berusaha melakukan regresi
pada kondisi sebelumnya. Tendensi insting untuk mengulang-ulang siklus dari
excitation ke kondisi repose ini disebut repetition compulsion. Terdapat banyak
contoh repetition compulsion ini dalam kehidupan sehari-hari. Fase regular dan
periodik dari kegiatan terjaga yang diikuti dengan tidur adalah salah satunya.
Tiga kali makan sehari adalah contoh yang lain. Hasrat seksual diikuti dengan
pemuasan seksual juga contoh yang lainnya.
Singkatnya, then, tujuan insting diberi ciri dengan sifat
konservatif, regresif, dan repetitif.
Objek suatu insting adalah objek atau cara yang melaluinya
tujuan yang disasar insting dicapai. Objek dari insting lapar adalah mencerna
makanan; objek dari insting seks, copulation; dan insting agresif, bertarung.
Objek atau cara-cara tersebut merupakan ciri yang paling bervariasi dari sebuah
insting, semenjak banyak objek dan aktivitas yang berbeda bisa saling
menggantikan. Seperti yang akan kita lihat di Bab 4 tentang perkembangan
personalitas, the elaboration of the means by which instincts reach their goal
of tension-reduction constitutes one of the principal avenues of personality
development.
Impetus dari sebuah insting adalah kekuatan atau dayanya,
yang ditentukan oleh jumlah energi yang ia miliki. Rasa lapar yang kuat
menghasilkan impulsi yang lebih besar terhadap proses-proses psikologis
daripada yang dilakukan oleh rasa lapar yang ringan. Ketika orang amat lapar,
pikirannya dipenuhi oleh makanan sampai-sampai mengabaikan segala hal praktis
lainnya. Serupa itu pula, jika orang mengalami jatuh cinta yang akut, sukarlah
baginya untuk memikirkan hal lain.
Tempat insting ada dalam id. Semenjak insting constitute the
total amount of psychic energy, id dikatakan sebagai sumur orisinil dari energi
psikis. Untuk membentuk ego dan superego, energi diambil dari sumur ini.
Bagaimana penarikan energi ini berlangsung adalah subjek dari bagian berikut.
III. Distribusi dan pembuangan Energi Psikis
A. ID. Energi dari id digunakan untuk pemuasan instingtual
melalui aksi-aksi refleks dan wish-fulfillment. Dalam aksi refleks seperti yang
dicontohkan melalui mencerna makanan, pengosongan kantung makanan, dan orgasme
seksual, energi secara otomatis dilepaskan dalam aksi motoris. Dalam
wish-fulfillment, energi dipakai untuk menghasilkan citra dari objek instingtual.
Tujuan dari kedua proses tersebut adalah untuk menghabiskan [membelanjakan]
energi instingtual ke dalam cara-cara yang akan menghilangkan kebutuhan
tersebut dan mendatangkan repose bagi individu.
The investment of energy dalam citra suatu objek, atau
dihabiskannya energi dalam aksi-aksi pelepasan terhadap suatu objek yang akan
memuaskan insting, disebut object-choice atau object-cathexis. Segenap energi
dari id dihabiskan dalam cathex-cathex-objek*.
Energi yang disuntikkan id dalam object-choices amatlah
cair. Ini berarti bahwa energi tersebut bisa dibelokkan [dilangsir] dengan
mudah dari satu objek ke objek yang lain. Pembelokkan energi ini disebut
displacement. Demikianlah, jika makanan tidak ada, bayi yang lapar akan
menggantinya dengan apapun yang terpegang atau tangannya sendiri dan
memasukkannya ke mulut. Objek-objek dipandang ekuivalen ketika terdapat
keserupaan yang kongkrit dan spesifik di antara mereka. Dua objek seperti
misalnya botol susu dan blok kayu mainan dipersepsi sebagai identik karena
keduanya itu bisa dipegang tangan dan dimasukkan ke mulut. Energi dari id amat
bisa diganti-gantikan karena id tidak memiliki kemampuan dalam membuat
pembedaan diantara objek-objek.
Tendensi id untuk memperlakukan objek seolah-olah mereka itu
adalah benda yang sama, terlepas dari perbedaan yang ada diantara mereka,
menciptakan semacam pemikiran terdistorsi yang disebut predicate thinking. Jika
dua objek, misalnya sebatang pohon dengan organ seks pria, dipersamakan dalam
benak seseorang karena keduanya sama-sama memiliki karakteristik fisik yang
sama yaitu protruding, orang tersebut sedang melakukan predicate thinking.
Jenis berpikir ini lazim terutama dalam mimpi, dan dapat menjelaskan simbolisme
yang terjadi dalam mimpi. Mengendarai kuda atau membajak ladang bisa mewakili
atau menyimbolkan persetubuhan karena gerak-gerak yang similar dilakukan dalam
berkendara, membajak, dan bersetubuh. Predicate thinking umum pula terjadi
dalam kehidupan terjaga, menyebabkan amat banyak kebingungan dalam pemikiran
seseorang sehingga menghindarkannya dalam membuat diskriminasi yang memadai.
Prasangka rasial seringkali dikarenakan predicate thinking ini. Karena kaum
negro berkulit hitam dan karena hitam berasosiasi dengan kejahatan dan kotor,
kaum negro dipandang sebagai buruk dan kotor. Serupa itu pula, orang yang
berambut merah dipandang memiliki temperamen panas karena merah adalah warna
yang panas.
Jika aliran
direksional dari energi instingtual dibendung oleh proses-proses ego
atau superego, ia berusaha menghancurkan pembendungan tersebut dan meloloskan
dirinya dalam fantasi atau tindakan. Ketika pembobolan itu berhasil,
proses-proses rasional ego digerogoti. Orang akan melakukan kesalahan-kesalahan
dalam bicara, menulis, mempersepsi, dan dalam mengingat, dan dia mengalami
kecelakaan karena dia menjadi begitu bingung** dan kehilangan kontak dengan
realitas. Kemampuannya untuk memecahkan masalah dan menyingkapkan realitas
dibuat lemah oleh the intrusion of impulsive wishes. Tiap orang pasti tahu
bagaimana sulitnya memfokuskan pikiran pada pekerjaan sewaktu dia lapar atau
terangsang secara seksual atau sedang marah. Jika id tidak berhasil dalam
menemukan saluran-keluar yang langsung bagi energi isntingtualnya, energi
tersebut diambil alih oleh ego atau superego dan digunakan untuk memberi tenaga
bagi operasi-operasi dari sistem-sistem ini.
B. EGO. Ego pada dirinya sendiri tidaklah memiliki energi.
Indeed ia tidak bisa dikatakan ada sampai energi dibelokkan dari id pada
proses-proses laten yang membangun ego. Dengan pemberian tenaga atas
proses-proses baru ini�seperti misalnya diskriminasi, memori, penilaian, penalaran�yang
sampai pada titik ini berupa kecenderungan-kecenderungan laten dan innate dalam
personalitas, ego sebagai suatu sistem yang terpisah memulai perkembangannya
yang kompleks dan panjang.
Titik berangkat bagi diaktifkannya
potensialitas-potensialitas ego laten ini terkandung dalam mekanisme yang
dikenal sebagai identifikasi. Untuk memahami sifat dari mekanisme ini perlulah
untuk kembali kepada hal-hal pokok yang telah kita bahas. Ingatlah bahwa id
tidak membuat distingsi antara pencitraan subjektif dengan realitas objektif.
Jika ia meng-cathex suatu citra objek*, artinya, ketika energi disuntikkan
dalam suatu proses yang membentuk representasi mental dari suatu objek, hal ini
sama dengan meng-cathex objek itu sendiri. Bagi id, objek sebagai citra dan
objek sebagai realitas eksternal adalah identik dan bukan merupakan entitas
yang terpisah.
Kegagalan id dalam mencapai kelegaan dari ketegangan membuat
timbulnya garis perkembangan baru yang memberikan dasar bagi pembentukan ego.
Alih-alih suatu citra dan objek riil dipandang sebagai identik, terjadi suatu
pemisahan antara keduanya. Apa yang terjadi akibat pembedaan ini adalah bahwa
hal yang sepenuhnya subjektif, dunia batiniah dari id menjadi dipilah ke dalam
dunia batiniah yang subjektif (pikiran) dan dunia eksternal yang objektif
(lingkungan). Jika dia ingin menselaraskan diri dengan memadai, orang itu
sekarang dihadapkan dengan tugas mengharmonikan kedua dunia ini satu sama lain.
Keadaan-keadaan mental harus disinkronisasi dengan realitas jika orang ingin
selaras secara memadai.
Sebagai contoh, jika seorang yang lapar memiliki citra
memori akan makanan, dia harus melokalisir objek riil tersebut dalam lingkungan
yang sesuai dengan citra-memorinya. Jika citra memori tersebut adalah citra
yang akurat, objek yang akan dia temukan akanlah berupa makanan. Jika citra
memorinya bukan merupakan representasi akurat dari makanan, citra itu haruslah
direvisi sampai ia berupa citra makanan. Jika tidak, orang yang lapar akan mati
kelaparan. Pada suatu masa bumi dipercaya sebagai datar, tapi konsepsi ini
direvisi ketika Columbus dan para penjelajah lain memperlihatkan bahwa dunia
bulat dan tidak datar sama sekali. Segenap kemajuan dalam pengetahuan adalah
membuat representasi mental orang atas dunia menjadi gambaran yang lebih akurat
atas dunia sebagaimana adanya.
Kerja-kerja membuat isi pikiran menjadi replika-replika yang
faithful dan akurat atas isi dunia dilakukan oleh proses sekunder. Jika gagasan
atas suatu objek selaras dengan objek itu sendiri, gagasan itu dikatakan
beridentifikasi dengan objeknya. Identifikasi pikiran dengan realitas haruslah
dekat dan eksak agar perancangan rencana tindakan akan membawa orang pada
tujuannya.
Sebagai akibat dari mekanisme identifikasi ini, energi yang
disuntikkan oleh id dalam citra-citra without regarding for, and indeed with no
conception of, reality is diverted into the formation of accurate mental
representations of the real world. Pada titik ini, pemikiran logis menggantikan
wish-fulfillment. Pengalihan energi dari id ke proses-proses kognitif ini
menandai langkah awal dalam pengembangan ego.
Adalah penting untuk mengingat bahwa adaptasi baru dari
personalitas ini is contingent upon the separation of subject (mind) and object
(matter). Bagi id tak ada pemilahan semacam itu. Sebagai akibatnya, tak
dimungkinkan adanya identifikasi. Identitas citra dengan objek dalam id mungkin
dipandang sebagai semacam identifikasi primitif. Akan tetapi adalah lebih baik
menggunakan term identitas untuk kondisi ini dan memakai term identifikasi bagi
kasus-kasus dimana terdapat a clear recognition of a separation of the two
thngs that are being identified, namely, mental events and external reality.
Pemisahan antara pikiran dengan dunia fisik realitas
berlangsung sebagai hasil dari frustrasi dan proses belajar. Seperti yang telah
kami katakan sebelumnya, id tidak dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan vital
kehidupan melulu lewat aksi refleks atau wish-fulfillment. Sebagai akibatnya,
orang haruslah mengetahui perbedaan antara citra dengan realitas jika dia ingin
tetap hidup. Tak ragu lagi, there is an inborn predisposition untuk membedakan
antara keadaan-keadaan mental batiniah dengan realitas luar, tapi
predisposition ini haruslah dikembangkan melalui pengalaman dan latihan. Sedari
usia yang amat awal, bayi belajar membedakan antara apa yang ada diluar dirinya
di dunia sana dan apa yang ada dalam pikirannya. Lebih lagi, melalui pengalaman
dan pendidikan, dia belajar membuat apa yang ada dipikirannya sejalan dengan
apa yang pada kenyataannya ada di luar pikirannya. Dia belajar, dengan kata
lain, untuk mengidentifikasi keduanya.
Satu contoh dari perbedaan antara identitas dengan
identifikasi barangkali akan menjernihkan arti dari kedua term tersebut. Ketika
orang bermimpi sedang dikejar seekor singa, dia biasanya merasa seolah-olah
seekor singa yang nyata sedang mengejarnya. Selama mimpi itu, citra-citra
tersebut tidaklah dibedakan dari objek-objek real yang mereka representasikan.
Semua itu adalah identitas-identitas. Sebagai akibatnya, orang yang bermimpi
itu mengalami emosi yang sama yang akan ia rasakan jika peristiwa-peristiwa
dalam mimpi tersebut nyata-nyata terjadi. Serupa itu pula, orang yang memiliki
halusinasi tidaklah membedakannya dari realitas. Di lain pihak, jika orang
dalam kehidupannya yang terjaga sedang menonton televisi atau membaca buku, dia
tidak memandang bahwa gambar-gambar atau kata-kata merupakan objek-objek aktual
pada dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa semua itu hanyalah
representasi-representasi realitas. Dia mungkin mengidentifikasi
peristiwa-peristiwa dalam acara televisi atau dalam buku dengan realitas, tapi
jarang sekali dia terkecoh untuk memandang bahwa semua itu adalah realitas itu
sendiri.
Melalui identifikasi dengan objek-objek dari dunia
eksternal, representasi-representasi subjektif dari objek-objek ini mendapat
kateks-kateks* yang sebelumnya disuntikan oleh id dalam objek-objek itu
sendiri. Kateks-kateks baru ini disebut ego-cathexes untuk membedakannya dari
pilihan-objek id yang instingtual**. Melalui identifikasi, lalu, energi menjadi
tersedia bagi perkembangan pemikiran realistik (proses sekunder), yang
menggantikan wish-fulfillment yang halusinatoris (proses primer). Redistribusi
energi dari id ke ego ini merupakan peristiwa dinamis utama dalam perkembangan
personalitas.
Karena fungsi-fungsi rasional dari ego begitu berhasil dalam
memperoleh gratifikasi bagi insting-insting tersebut, semakin banyak energi
dari sumurnya dalam id dialirkan*** ke dalam ego. Sewaktu ego bersinar dalam
kekuatannya, id justru semakin buram. Akan tetapi, jika ego gagal dalam
tugasnya memuaskan tuntutan-tuntutan id, ego-cathexes diubah kembali ke dalam
object-cathexes yang instingtual dan wish-fulfillment masa kanak berdaulat
kembali. Inilah apa yang terjadi sewaktu kita tidur. Karena ego tidak bisa
berfungsi secara efektif sewaktu mimpi, proses primer dimunculkan dan membuat
citra-citra halusinatoris. Bahkan sewaktu hidup terjaga, proses primer bisa
saja diaktifkan kembali ketika ego tidak melahirkan hasil-hasil secara
langsung. Ini dikenal sebagai autistic atau wishful thinking.
Orang yang amat menginginkan sesuatu to be true seringkali
menipu diri dengan memikirkannya sebagai true. Kita semua tahu seberapa mudah
untuk membiarkan bias-bias dan hasrat-hasrat kita mengarahkan pemikiran kita.
Bahkan ilmuwan yang objektif sekalipun harus hati-hati untuk tidak membiarkan
pilihan-pilihan teoritisnya mempengaruhi observasi dan penalaran. Itulah kenapa
dia selalu hati-hati dengan menyediakan kontrol-kontrol yang cocok bagi
eksperimen dan observasinya, dan untuk mengulang berkali-kali prosedur tersebut
untuk memastikan apa yang dia lihat pertama kali benar-benar true. Wishful
thinking tiada habisnya membuat jebakan untuk kita.
Dibawah kondisi normal ego memonopoli simpanan energi
psikis. Ketika ia mengambil energi secukupnya dari id, ia bisa menggunakan
energi ini untuk tujuan-tujuan yang lain daripada memuaskan insting-insting.
Energi digunakan untuk mengembangkan proses-proses psikologis seperti
mempersepsi, attending, belajar, dan berimajinasi. Semua proses-proses ini akan
menjadi semakin efisien ketika ego mendapatkan kontrol atas energi tersebut.
Dunia mendapat makna-makna baru bagi orang sewaktu dia semakin tahu tentangnya,
dan dengan pengetahuannya yang bertambah ini dia berada dalam posisi yang lebih
baik untuk memanipulasi dunia menurut tujuan-tujuan yang dipunyainya. Tidak
hanya dalam perkembangan dari si individu tapi juga evolusi rasial dan kultural
manusia selalu terdapat control yang semakin besar atas alam melalui pengalihan
energi dari proses-proses nonrasional id pada proses rasional ego.
Beberapa energi dari ego harus digunakan untuk membendung
dan menangguhkan the outflow of exitation through the motor system. Tujuan dari
penangguhan ini adalah untuk memberi kesempatan bagi ego untuk menjalankan
rencana tindakan yang realistis sebelum ia bertindak. Ketika energi digunakan
untuk membendung aliran energi yang sedang berupaya melakukan pelepasan
terakhirnya, daya-daya pembendung ini disebut anti-cathexes. Suatu
anti-cathexis adalah muatan energi* yang melawan cathexis. Anti-cathexes dari
ego ini diarahkan untuk melawan id-cathexes karena cathexes ini mendesak
pelepasan beban karena adanya ketegangan. Wilayah perbatasan antara ego dengan
id barangkali mirip dengan wilayah perbatasan dari dua negara, yang
masing-masing berupaya menginvasi wilayah yang lain. Negara yang terancam
infasi mendirikan pertahanan (anti-cathexes dari ego) yang bisa memukul mundur
si penyerang (id-cathexes). Jika anti-cathexes menemui kegagalan,
object-cathexes dari id akan memberangus ego dan menghasilkan perilaku impulsif.
Inilah yang terjadi ketika orang yang biasanya terkontrol kehilangan kendali.
Energi yang ada dalam ego bisa juga digunakan untuk membuat
object-cathexes yang baru. Objek-objek ini tidaklah secara langsung memuaskan
kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki organisme, meski mereka dikaitkan oleh
mata rantai-mata rantai asosiatif with objects that do. Sebagai contoh, insting
lapar bisa bercabang-cabang dan meliputi banyak aktivitas yang pada dasarnya
tidak memuaskan rasa lapar. Mengumpulkan resep-resep yang tak biasa dan
buku-buku masak, membeli perabotan Cina dan perabotan perak, memasang peralatan
dapur elektronis, mengunjungi restoran yang menyediakan makanan-makanan
eksotik, membaca dan berbincang tentang makanan dan bermacam hal lain seputar
makanan and food-associated interests engage the energies of many people, meski
tak satupun dari semua ini pada dirinya sendiri mereduksi rasa lapar.
Alasan ego memiliki cukup energi yang bisa dihabiskan
untuk tujuan-tujuan non-instingtual
adalah bahwa pemungsiannya yang efektif menghasilkan suatu surplus energi yang
dibutuhkan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup yang vital. Semakin ekonomis ego
beroperasi dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan ragawi, semakin banyak energi
yang dimilikinya untuk kegiatan-kegiatan waktu senggang. The way in which these
ego interests, as they are called, originate is discussed in the next chapter.
Terakhir, energi dari ego digunakan untuk memastikan
terjadinya sintesis atau integrasi dari ketiga sistem yang dimiliki
personalitas. Tujuan dari sintesis ini adalah untuk menghasilkan harmoni-dalam
dan transaksi yang mulus dengan lingkungan. Ketika ego sedang melakukan fungsi
sintesisnya dengan bijak, id, ego, dan superego dipersatukan ke dalam
keseluruhan yang padu dan tertata. Masih ada yang hendak kami bahas perihal
fungsi sintesis dari ego ini, tapi itu di bab-bab yang akan datang.
Dengan membandingkannya dengan mobilitas energi dalam id,
energi dari ego amatlah kurang cair dan amat terikat. By the binding of energy
is meant that it is invested in mental operations and not expended in impulsive
action or wish-fulfillment. Ego mengikat energi dengan menyalurkannya ke dalam
proses-proses psikologis, dengan menyuntikkannya ke dalam anti-cathexes, dengan
membentuk ego interests, dan dengan menggunakannya untuk sintesis. Sewaktu ego
berkembang, ia menghabiskan semakin banyak energinya untuk fungsi-fungsi ini.
C. SUPEREGO. Ketakutan akan hukuman dan keinginan akan
approval membuat anak mengidentifikasikan dirinya dengan nasihat-nasihat moral
orangtuanya. Identifikasi dengan orang tua ini menghasilkan pembentukan
superego. Akan tetapi tidak seperti identifikasi realistik dari ego
identifikasi yang atasnya superego didasarkan adalah orangtua yang diidealisir
atau orangtua yang mahakuasa. Orangtua disuntikkan kekuasaan-kekuasaan besar
dalam menghukum dan mengganjar si anak. Sebagai akibatnya, superego juga
dilengkapi dengan kekuasaan untuk mengganjar dan menghukum. Mengganjar
dilakukan oleh ego-ideal, menghukum oleh nurani [conscience].
Larangan-larangan nurani adalah hambatan-hambatan atau
anti-cathexes yang membendung pelepasan energi instingtual baik secara langsung
dalam prilaku impulsif dan
wish-fulfillment, maupun secara tak langsung melalui cara mekanisme-mekanisme ego. Artinya, nurani melawan baik id maupun
ego, dan berusaha menunda pelaksanaan prinsip kenikmatan dan prinsip realitas.
Seseorang yang memiliki nurani yang kuat secara konstan selalu siap sedia dalam
memerangi impuls-impuls immoral. Dia menghabiskan begitu banyak energinya demi melawan
id sehingga dia tidak memiliki cukup energi untuk melakukan kerja-kerja yang
bermanfaat dan memuaskan. Sebagai akibatnya, dia menjadi terimmobilisasi dan
hidup bagaikan mengenakan mantel-pengikat.
Antic-athexes dari nurani berbeda dari anti-cathexes yang
dimiliki ego. Daya-daya perlawanan ego melayani tujuan-tujuan dalam
menangguhkan aksi final dengan maksud agar ego bisa membagankan rencana yang
memuaskan. Larangan-larangan dari nurani, di lain pihak, berusaha menghilangkan
semua pikiran tentang suatu aksi apapun. Nurani berkata �No�
pada semua insting, sementara ego berkata �Tunggu�.
Ego-ideal berusaha mencapai kesempurnaan. Energinya is
invested in cathecting ideals yang merupakan representatif-representatif yang
diinternalisasi dari nilai-nilai moral orang tua. Ideal-ideal ini
merepresentasikan objek-choice yang perfeksionis. Orang yang memiliki sebagian
besar energinya terikat dalam ego-ideal adalah seorang idealis dan high-minded.
Pilihan-pilihannya atas objek ditentukan lebih oleh nilai-nilai moralistik
mereka daripada nilai-nilai yang realistik. Dia lebih concerned dengan
pemilahan yang baik dari yang buruk daripada dengan membedakan antara true dan
false. Bagi orang semacam itu, virtue lebih penting daripada truth.
Dengan mengidentifikasikan diri dengan object-choices etis
yang dimiliki ego-ideal, ego merasakan semacam kebanggaan. Rasa bangga
merupakan ganjaran yang diberikan ego-ideal kepada ego karena telah berbuat
baik. Ini analog dengan perasaan yang anak miliki ketika dia dipuji oleh orangtuanya.
Di lain pihak, ketika ego mengidentifikasikan diri dengan atau memilih suatu
objek yang dianggap tak layak oleh superego, superego menghukum ego dengan
membuatnya merasa malu dan bersalah. Inipun amat menyerupai situasi yang
terjadi ketika seorang anak dihukum ibunya atau ayahnya karena telah berbuat
nakal.
Rasa bangga adalah bentuk narcissisme sekunder. Ego
mencintai dirinya karena telah melakukan apa yang dianggap saleh. �Kesalehan
adalah ganjarannya itu sendiri.� Dengan cara yang sama bisa dikatakan bahwa dosa adalah
bentuk hukumannya itu sendiri.
Demikianlah kita melihat bahwa energi dari id disalurkan
kepada ego dan superego melalui mekanisme identifikasi. Energi tersebut lalu
bisa digunakan oleh ego atau superego untuk melancarkan atau menghambat
tujuan-tujuan id, yang adalah mengejar kenikmatan (bebas dari ketegangan) dan
untuk menghindari rasa sakit (semakin sengitnya ketegangan). Kita telah melihat
bagaimana ego mensekutukan diri dengan id demi memuaskan insting-insting.
Dilain pihak, akanlah terlihat bahwa superego, sebagai musuh segala hal yang
immoral, insting yang gandrung akan kenikmatan, pastilah selalu menentang id.
Tapi ini tidaklah selalu begitu. Superego bisa dimanipulasi oleh id demi tujuan
mendapatkan kepuasan bagi insting-insting. Yaitu, superego bisa bertindak
sebagai agen id baik dalam kaitannya dengan dunia eksternal maupun dalam
hubungannya dengan ego. Sebagai contoh, superego dari orang yang moralistik
bisa menjadi amat agresif dalam melawan egonya. Ego itu dibikin untuk merasa
tak layak dan jahat. Orang yang mengalami hal ini bahkan bisa sampai melakukan
bunuh diri. Tindakan-tindakan agresi-diri ini memuaskan impuls-impuls agresif
yang dimiliki id.
Superego dari orang yang amat high-minded bisa juga
memuaskan id-nya dengan menyerang orang yang dipandang sebagai immoral. Cruelty
masquerading as moral indignation bukanlah tidak diketahui dan telah
dipraktekkan dalam skala yang luas. Lihatlah, misalnya, brutalitas dari
Inkuisisi, pembakaran tukang sihir, dan pembunuhan masal yang disebarkan oleh
Nazi. Ostensibly*, serangan-serangan sadistis ini dipicu oleh api moral dari
ordo yang tertinggi. Akan tetapi pada kenyataannya semua ini merepresentasikan
ekspresi dari daya-daya id yang primitif. Dalam kasus-kasus semacam itu, superego
dikatakan dikorupsi oleh id.
Id dan superego sama-sama memiliki kualitas yang lain.
Keduanya berfungsi secara irasional dan mendistorsikan atau memfalsifikasi
realitas. Atau tepatnya kita harus mengatakan bahwa id dan superego
mendistorsikan pemikiran realistik yang dimiliki ego. Superego mendesak ego
untuk melihat hal-hal sebagaimana mereka harusnya ada, bukan sebagaimana adanya
mereka. Id memaksa ego untuk melihat dunia menurut yang diinginkan id. Dalam
kedua kasus, proses sekunder, pengujian realitas, dan prinsip realitas
dibelokkan [disesatkan] oleh kekuatan irasional.
Dalam menutup bagian tentang distribusi dan pembuangan
energi psikis dalam personalitas ini, haruslah diingat bahwa energi yang
tersedia itu terbatas. Artinya jika ego mendapat energi, id atau superego�atau
keduanya�haruslah
kekurangan energi. Memberikan energi pada satu sistem personalitas berarti
menarik energi dari sistem lain. Orang yang memiliki ego kuat akan memiliki id
dan superego yang lemah.
Dinamika personalitas terdiri dari perubahan-perubahan
distribusi energi. Tindak-tanduk seseorang ditentukan oleh dinamikanya ini.
Jika bagian besar energi dikontrol oleh superego, prilakunya akanlah
moralistik. Jika energinya dikontrol oleh ego prilakunya akanlah realistik. Dan
jika energi itu direbut kembali oleh id, yang merupakan sumber dari segenap
energi psikis, tindakan-tindakannya akanlah impulsif. What a person is and does
is inevitably an expression of the way in which the energy is distributed.
IV. CATHEXIS AND ANTI CATHEXIS
Dalam salah satu tulisannya Freud mencirikan psikoanalisis
sebagai �konsepsi
dinamis yang mereduksi kehidupan mental pada kesaling-bermainan
[kesalingpengaruhan]** daya-daya yang
mendorong dan menghambat secara timbal balik.� Daya yang mendorong
itu adalah cathex, dan kekuatan yang menghambat itu adalah anti-cathex.
Seperti yang telah kita lihat, id hanya memiliki
cathex-cathex sementara ego dan superego juga memiliki anti-cathex. Pada
kenyataannya, ego dan superego mengada karena dirasa perlu untuk membendung
tindakan-tindakan terburu-buru [imprudent] yang dilakukan id. Akan tetapi,
sewaktu proses-proses yang membentuk ego dan superego bertindak sebagai rem
terhadap id, ego dan superego pun memiliki kekuatan-kekuatan pengarahnya
sendiri.
Cara lain dalam memandang konsep anti-cathexis adalah dengan
memandangnya sebagai internal frustration. Daya yang menentang itu menghambat*
pelepasan ketegangan. Jenis penghambatan ini [frustration] harus dibedakan dari
jenis lain yang disebut external frustration. Dalam external frustration
objek-tujuan tidak bisa didapatkan karena alasan-alasan yang tak dapat
dikontrol orang. Orang mungkin ingin makanan, tapi jika tak ada makanan di
sekitarnya atau jika dia dihindarkan dari mendapatkannya, laparnya itu akanlah
tetap tak terpuaskan. External frustration is a state of of privation or
deprivation, sementara internal frustration adalah penghambatan batiniah.
Ketika orang ingin melakukan sesuatu tapi ada rintangan eksternal menghadang
jalannya, itu adalah external
frustration. Jika orang ingin melakukan sesuatu tapi ego atau superegonya
berusaha menghalanginya dalam melakukan hal itu, itu adalah internal
frustration.
Freud mengamati bahwa internal frustration (anti-cathexis)
tidaklah ada sampai external frustration menyiapkan dasar-dasar bagi
kemunculannya. Artinya, orang harus mengalami privation atau deprivation
terlebih dulu sebelum dia bisa mengembangkan kontrol-kontrol batiniah. Dalam
kasus superego, misalnya, anak tidaklah mengembangkan disiplin-diri sampai dia
telah memiliki kesempatan untuk mengidentifikasikannya dengan larangan-larangan
moral orangtuanya. Seorang anak harus belajar apa yang buruk dengan mengalami
pemberian hukuman sebelum dia bisa memapankan kontrol batiniahnya atas
prilaku-prilakunya.
Konsep tentang daya-daya mendorong dan menghambat ini
memampukan kita memahami kenapa kita berpikir dan bertindak seperti yang kita
lakukan. Umumnya, jika daya-daya pendorong lebih kuat daripada kekuatan yang
menghambat, beberapa tindakan akan berlangsung atau beberapa gagasan akan
menjadi conscious [sadar]. Jika anti-cathex lebih berat daripada cathex,
tindakan atau pikiran itu akan direpresi. Akan tetapi, bahkan jika
anti-cathexis tidak ada/hadir, proses mental bisa saja amat lemah dalam
kandungan energinya sehingga kesadaran atau tindakan itu tidak mengejawantah.
Ambil sebagai contoh kasus dari orang yang sedang berusaha
mengingat sesuatu. Dia mungkin tidak dapat mengingat karena jejak memori
tersebut tidak diberi energi dalam jumlah yang mencukupi. Jejak memori itu diberi
energi yang minim karena pada dasarnya pengalaman tersebut tidak memberikan
kesan yang kuat bagi orang itu. Atau energi yang dimiliki jejak memori itu
telah habis dalam kegiatan membikin jejak-jejak ingatan yang baru. Proses
mempelajari sesuatu yang baru biasanya berarti bahwa sesuatu yang lama harus
di-unlearned atau dilupakan. Alasan untuk hal ini adalah bahwa orang memiliki
energi yang terbatas. Ketika suntikan-suntikan [energi] baru dilakukan, energi
haruslah dipinjam dari object-cathex-objek-cathex yang sudah mapan. Sebagai
akibatnya cathex-cathex memeori yang lama dibikin lemah sewaktu energi
diberikan pada cathex-cathex memori yang baru.
Jejak-jejak memori yang memiliki sedikit energi atau yang
energinya seluruhnya telah dipindahkan pada jejak-jejak memori yang lain
diistilahkan dengan terlupakan. Jejak-jejak ini bisa dikembalikan dalam ingatan
melalui pengulangan pengalaman. Demikianlah ketika orang lupa nomor telepon dia
bisa menyuntikan energi pada jejak memori tersebut dengan mencari nomor itu di
buku telepon. Ini disebut menyegarkan ingatan seseorang.
Di lain pihak, orang mungkin tak bisa mengingat sesuatu
karena cathexis dari jejak memori tersebut ditentang oleh suatu bentuk
perlawanan atau anti-cathexis. Ingatan-ingatan semacam itu disebut terrepresi
alih-alih dilupakan.
Ingatan yang direpresi bisa dipanggil kembali baik melalui
pengurangan kekuatan anti-cathexis yang ada atau dengan menambah kekuatan yang
dimiliki cathexis tersebut. Tak satu pun dari kedua hal ini yang mudah untuk
dilakukan. Yang kerapkali kita dapati adalah semakin keras usaha orang untuk
membobol represi, semakin kuatlah benteng pertahanan itu. Teknik-teknik khusus,
seperti misalnya hipnosis atau asosiasi-bebas dipakai untuk melemahkan benteng
pertahanan tersebut. Perlawanan itu juga cenderung melemah ketika tidur
sehingga kita mungkin ingat akan sesuatu dalam mimpi yang selama kehidupan
terjaga hal tersebut selalu direpresi.
Kenapa ingatan-ingatan direpresi? Ada dua alasan pokok.
Ingatan itu sendiri adalah ingatan yang menyakitkan atau ingatan tersebut
diasosiasikan dengan sesuatu yang menyakitkan. Contohnya, orang akan melupakan
nama seorang kenalan karena perkenalan pertamanya itu menyakitkan. Atau dia
mungkin melupakan nama itu karena nama itu berkaitan dengan sesuatu yang
menyakitkan. Dalam kedua kasus, anti-cathex bertujuan melindungi orang tersebut
dari ketaknyamanan dan kecemasan. All of which means that adalah lebih mudah
untuk melupakan janji pertemuan dengan dokter gigi daripada melupakan kencan.
Realitas dari daya pendorong dan penghambat dalam
personalitas is brought home to one repeatedly. Contoh tipikal adalah dorongan
untuk mengosongkan kantong pencernaan yang dihambat oleh rasa ketakpantasan
waktu dan tempat untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Contoh familiar lainnya
adalah impuls untuk menjegal orang lain yang dibendung oleh rasa sosial.
Mengalami sesuatu sudah berada di ujung lidah menunjukkan bahwa represi sedang
berlangsung; semakin keras orang berusaha mengingatnya semakin alot pula
bendungannya. Jika orang mengalihkan perhatiannya pada hal lain, resistensi itu
bisa melemah dan ingatan yang terepresi akan muncul secara spontan ke dalam
kesadaran. Bermacam contoh yang lain dari daya penghambat ini bisa diberikan.
Kadang orang sadar akan perlawanan ini sementara pada saat yang lain dia
mengalami suatu perasaan ketegangan tanpa sadar sedikit pun akan daya-daya
penghambat ini.
Pembendungan suatu cathexis oleh anti-cathexis disebut
conflik endopsikis atau batiniah. Suatu konflik endopsikis adalah konflik yang
terdapat di dalam personalitas. Konflik-konflik semacam itu harus dibedakan
dari konflik-konflik antara orang dengan lingkungannya. Meski konflik-konflik
endopsikis amat beragam, sama banyaknya dengan jumlah pertentangan antara
cathex-cathex dengan anti-cathex, semua itu bisa diklasifikasi dibawah satu
dari dua kategori, konflik id-ego, konflik ego-superego. Tak ada konflik antara
id dengan superego karena oposisi diantara id dengan superego selalu melibatkan
ego. Itu berarti, id dan superego berkonflik karena masing-masing berusaya
menggunakan/memanfaatkan ego demi kepentingan mereka sendiri. Lebih jauh lagi,
konflik id-ego yang sederhana bisa menjadi rumit jika superego bersekutu
bersama id dalam memerangi ego atau bergabung dengan ego dalam melawan id. Ego
adalah elemen common dalam semua konflik, termasuk konflik-konflik yang
melibatkan oposisi dengan dunia eksternal. Semenjak hasil dari konflik adalah
decisif bagi perkembangan personalitas, kita akan membahas subjek penting ini
sekali lagi di bab selanjutnya.
Praktisnya setiap proses personalitas diregulasi oleh
peran-peran yang dimainkan leh cathexis dan anti-cathexis. Kadang keseimbangan
diantara mereka begitu rapuh [delicate] sehingga sedikit saja pergeseran dalam
rasio kekuatan yang dimiliki cathexis kepada kekuatan anti-cathexis akan
menentukan perbedaan antara melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Sedikit
penambahan energi dalam cathexis atau secuil kemerosotan energi dalam
anti-cathexis saja yang terjadi ketika jari orang yang ada pada pelatuk pistol
bisa membuat pistol itu menyalak, satu orang terbunuh, dan pembunuhan
dilakukan, didakwa, dan kemudian digantung. Keseimbangan yang rapuh dari
kekuasaan yang seringkali ada antara daya-daya pendorong dan penghambat dalam
suatu personalitas benar-benar membuat sulit untuk memprediksi setepatnya apa
yang akan orang lakukan dalam situasi tertentu. karena tak beda dengan sepercik
api bisa mendatangkan kebakaran mengerikan begitu juga pertambahan energi yang
bahkan tak kasat mata dalam cathexis bisa memicu rangkaian peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan yang far-reaching. Ketakmampuan meramalkan prilaku orang ini
menghindarkan psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan yang amat eksak. Ini
yang ada dalam benak Freud ketika menulis:
Sepanjang kita menelusuri perkembangan dari tahap terakhir
bergerak mundur ke belakang, kaitan-kaitan muncul secara kontinyu, dan kita
merasa kita telah mendapatkan satu insight yang sepenuhnya memuaskan atau
bahkan exhaustive. Tapi jika kita melakukannya dengan cara sebaliknya, jika
kita memulai dari premis-premis yang diambil dari analisis dan mencoba
mengikuti semua ini sampai pada hasil akhirnya, lalu kita tidak lagi mendapat
kesan [gambaran] akan sekuens tak terhindarkan dari peristiwa-peristiwa yang
tak akan kita pahami dengan cara sebaliknya. Kita insaf bahwa mungkin saja akan
ada hasil yang lain, dan bahwa kita mampu untuk memahami dan menjelaskan yang
belakangan. Sintesis ini dengan demikian tidaklah sama memuaskannya dengan
analisis itu; dengan kata lain dari pengetahuan akan premis-premis kita tidak
bisa meramalkan [foretold] hasilnya.
Amatlah mudah untuk menjelaskan this disturbing state of
affairs. Bahkan mengandaikan bahwa kita sepenuhnya tahu faktor-faktor
aetiologis yang menentukan suatu hasil tertentu, tetaplah kita mengetahuinya
hanya secara kualitatif, dan tidak dalam kekuatan relatifnya. Sebagian mereka
sama lemahnya untuk menjadi disupresi oleh yang lain, dan karena itu tidak
mempengaruhi hasil akhirnya. Tapi kita tidak pernah tahu sebelumnya yang mana
dari faktor-faktor penentu itu yang terbukti lebih lemah atau lebih kuat. Kita
hanya mengatakan pada akhirnya bahwa faktor yang berhasil pasti adalah yang
lebih kuat. Hence selalulah mungkin melalui analisis untuk mengenali
sebab-musabab tersebut dengan kepastian, sementara suatu prediksi atasnya
melalui sintesis adalah mustahil.[1]
Apa yang Freud katakan di sini adalah bahwa karena the
subtleties dalam intensitas relatif daya-daya pemicu dan daya penghambat dan
karena perubahan-perubahan kecil dalam intensitas-intensitasnya bisa
menghasilkan efek-efek yang besar, psikologi tidak dapat menjadi sebuah ilmu
yang prediktif. Akan tetapi ia bisa menjadi suatu ilmu yang postdiktif dalam
artian bahwa given a result it can look back an unearth the causes that
produced the result.
Dalam bab berikutnya kita akan kembali pada persoalan peran
yang dimainkan cathexis dan anti-cathexis dalam perkembangan personalitas. kIta
juga akan memeriksa permasalahan tentang bagaimana suatu cathexis bisa berkelit
dari suatu upaya pembendungan dengan cara menemukan jalan-keluaran yang lain.
V. KESADARAN DAN BAWAH-SADAR
Di tahun-tahun awal psikoanalisis konsep sentral dari teori
Freud adalah bawah sadar. Dalam rumusan-rumusan Freud belakangan, dimulai
sekitar 1920, bawah sadar dilengserkan dari statusnya sebagai wilayah pikiran
yang paling besar dan paling penting menjadi semacam kualitas dari fenomena
mental. Banyak dari apa yang sebelumnya diacukan pada bawah sadar menjadi
[diacukan] pada id, dan distingsi struktural antara kesadaran dan bawah sadar
diganti dengan organisasi tiga bagian dari id, ego, dan superego.
Meski bukanlah tujuan kami disini menuliskan sejarah
perkembangan gagasan-gagasan Freud dalam hubungannya dengan sejarah psikologi,
bisalah ditunjukkan bahwa artipenting bawah sadar yang menyusut itu dalam
psikoanalisis berparalel dengan menurunnya signifikansi pikiran sadar dalam
psikologi. Sepanjang abad 19 psikologi sibuk menganalisis pikiran sadar,
psikoanalisis terlibat dalam eksplorasi-eksplorasi pikiran bawah sadar. Freud
merasa kesadaran hanyalah serpihan tipis dari keseluruhan pikiran, seperti
puncak gunung es, bagian terbesar darinya yang terkubur dibalik permukaan air
kesadaran.
Para psikolog menjawab Freud dengan mengatakan bahwa
pandangan akan suatu pikiran bawah sadar merupakan istilah yang kontradiktif;
pikiran, berdasarkan definisi, adalah sadar. Kontroversi itu tidak pernah
mencapai konklusi final karena baik psikologi maupun psikoanalisis mengubah
objektif-objektifnya selama abad 20. Psikologi menjadi ilmu tentang prilaku,
dan psikoanalisis menjadi ilmu tentang personalitas. Pada saat ini terdapat
banyak indikasi bahwa dua ilmu itu sedang menuju pada titik yang sama untuk
bergabung menjadi ilmu yang tunggal.
Dari sudut pandang kita sekarang ini, muncul apa yang telah
Freud upayakan selama tiga puluh tahun antara 1890 sampai 1920, ketika pikiran
bawah sadar ditinggikan sebagai konsep yang berdaulat dalam sistem
psikologisnya, untuk menemukan kekuatan-kekuatan penentu dalam personalitas
yang tidak secara langsung diketahui para peneliti. Sama halnya dengan fisika
dan kimia memperkenalkan apa yang sebelumnya tak dikenal tentang kodrat
benda-benda melalui eksperimen dan demonstrasi, begitu pula tugas psikologi bagi
Freud adalah untuk mengungkapkan ke permukaan faktor-faktor dalam personalitas
yang sebelumnya tak diketahui. Ini tampaknya menjadi makna statemen Freud
ketika mengatakan bahwa �kerja ilmiah kami dalam psikologi terbentuk dalam
penerjemahan proses-proses bawah sadar mejadi proses sadar, dan dengan demikian
menjembatani gap-gap dalam persepsi-persepsi sadar.�[2] Freud semata-mata
mengakui fakta yang dikenal luas bahwa tujuan dari segenap ilmu pengetahuan
adalah mensubtitusi pengetahuan untuk keabaian. Sebagai contoh, manusia tidak
secara langsung sadar akan proses pencernaan yang berlangsung, tapi fisiologi
bisa memberitahukan apa yang terjadi ketika proses pencernaan berlangsung.
Pengetahuan ini tidaklah membuat dia bisa mempersepsi (secara langsung sadar akan)
proses-proses pencernaannya sendiri sewaktu semua itu berlangsung; meski
demikian dia tahu (faham) apa yang terjadi. Dalam cara serupa pula, orang tidak
sadar akan proses-proses mental bawah sadar, tapi psikologi bisa mengajarinya
tentang apa yang sedang berlangsung dibawah permukaan kesadaran.
Sebagai contoh, orang yang mengalami kecelakaan biasanya
tidak sadar bahwa kecelakaan itu merepresentasikan keinginan untuk melukai
diri. Akan tetapi inilah tepatnya apa yang ditunjukkan sejumlah studi yang telah
dilakukan. Atau orang yang memiliki kegandrungan abnormal pada makanan atau
minuman biasanya tidak sadar akan fakta bahwa kegandrungannya itu mungkin
tumbuh dari hasrat tertahan akan cinta. Yet this is often the case. Bahkan
ketika orang menjadi tahu [learn] bahwa terdapat hubungan antara
kecenderungan-untuk-mengalami-kecelakaan [accident proneness] dan rasa perasaan
bersalah atau antara alkoholisme dengan cinta yang terhambat, dia barangkali
belumlah tentu untuk secara langsung sadar bahwa hubungan ini ada dalam
dirinya.
Freud percaya bahwa bila psikologi hendak menjustifikasi
diri sebagai sebuah ilmu ia haruslah menyingkapkan sebab-sebab perilaku yang
masih belum diketahui [unknown]. Itulah kenapa dia banyak membuat sebab-musabab
atau motivasi bawah sadar dalam tahun-tahun awal psikoanalisisnya. Bagi Freud,
apa yang bawah sadar adalah apa yang unknown.
Sadar dan bawah sadar dimasukkan dalam teori psikoanalitik
setelah 1920 sebagai kualitas-kualitas dari fenomena mental. Apakah isi dari
pikiran itu sadar atau bawah sadar tergantung pada the magnitude of the energy
invested in it dan intensitas dari daya pembendungnya. Orang merasa sakit atau
dia merasa nikmat ketika jika jumlah [the magnitude] rasa sakit atau rasa
nikmat itu melampaui nilai cathexis tertentu yang disebut nilai ambang. Seperti
itu pula, dia mempersepsi sebuah objek di dunia ketika proses-proses perseptual
diberi energi yang melampaui nilai ambang tersebut. Bahkan ketika cathexis
melebihi ambang itu, perasaan itu atau persepsi itu bisa tidak memiliki
kualitas kesadaran karena efek-efek penghambat dari anti-cathexis yang
menjauhkannya untuk menjadi sadar.
Sebagai contoh, kasus-kasus yang diketahui dari orang yang
tak bisa melihat terlepas dari fakta bahwa tak ada yang salah dengan mekanisme visualnya.
Mereka buta karena mereka tidak ingin melihat. Ini berarti bahwa suatu kekuatan
pembendung (anti-cathexis) secara efektif memblokir cathex-cathex visual.
Alasan kenapa mereka tidak ingin melihat adalah bahwa melihat adalah terlalu
menyakitkan bagi mereka. Mereka secara harfiah takut untuk melihat, seperti
orang yang menutupkan mata ketika menonton bioskop agar tidak menyaksikan suatu
adegan yang mengerikan.
Persepsi dan perasaan merupakan pengalaman-pengalaman
langsung atas sesuatu yang terjadi pada orang at the present time. Ingatan dan
gagasan, di lain pihak, merupakan representasi mental dari
pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Agar gagasan dan ingatan menjadi sadar,
perlulah bagi mereka untuk diasosiasikan dengan bahasa. Orang tidak bisa berpikir
atau mengingat kecuali jika apa yang dia pikirkan dan dia ingat telah dikaitkan
dengan kata-kata yang pernah dia lihat atau dengar. Consequently orang tidak
dapat dengan sadar mengingat pengalaman-pengalaman masa kanak yang berlangsung
sebelum perkembangan bahasa dimulai. Akan tetapi, terlepas dari fakta bahwa
orang tidak dapat mengingat pengalaman-pengalaman awal tersebut, semua itu bisa
memiliki artipenting decisif dalam perkembangan personalitas.
Freud membedakan antara dua kualitas bawahsadar, prasadar
dan bawah sadar sejati. Suatu gagasan atau ingatan prasadar adalah yang bisa
menjadi sadar dengan lumayan mudah karena resistensi terhadap mereka lemah.
Suatu pikiran atau ingatan bawah sadar butuh upaya keras untuk menjadi sadar
karena besarnya kekuatan yang membendungnya. Di satu ujung skala tersebut
adalah ingatan yang tidak akan pernah menjadi sadar karena ia tidak memiliki
asosiasi dengan bahasa; di ujung yang lain adalah ingatan yang ada di ujung
lidah.
Semenjak konsentrasi besar dari energi dalam suatu proses
mental dibutuhkan agar ia memiliki kualitas untuk menjadi sadar, energi untuk
tujuan ini harus diperoleh dengan cara membelokkan pasokan energi dari
proses-proses mental lain. Ini berarti bahwa kita hanya bisa menjadi sadar atas
satu hal pada suatu saat. Akan tetapi, pergeseran energi yang cepat dari satu
gagasan, ingatan, persepsi, atau perasaan pada yang lainnya menyediakan cakupan
yang luas akan penyadaran yang sadar dalam waktu yang singkat. Orang bisa
memikirkan atau berloncatan dalam mengingat begitu banyak hal dengan cepat
dikarenakan mobilitas yang dimiliki energi psikis ketika semua itu
diredistribusikan. Sistem perseptual seperti mekanisme sebuah radar yang
memindai dengan cepat dan memotret banyak gambar dari dunia. Ketika sistem
perseptual memperlihatkan suatu objek yang dibutuhkan atau menangkap keberadaan
suatu ancaman potensial dalam dunia eksternal, ia beristirahat dan memfokuskan
perhatiannya pada objek atau ancaman tersebut. Ideas and memories are summoned
from the preconscious to help the person adjust to the situation confronting
him. Ketika ancaman itu berlalu atau kebutuhan sudah dipuaskan, pikiran
mengalihkan perhatian pada hal-hal yang lain.
VI. THE INSTINCT
Sudah dituliskan dalam bagian sebelumnya dari bab ini (lihat
Bagian II, �Instinct�)
bahwa insting merupakan jumlah dari energi psikis yang memberikan arah pada
proses-proses psikologis, dan bahwa ia memiliki sumber, tujuan, objek dan
impetus. Berapa banyakkah insting yang ada? Jumlahnya sama banyaknya dengan kebutuhan-kebutuhan
ragawi, semenjak insting merupakan representasi mental dari suatu kebutuhan
ragawi. Freud mengatakan bahwa pertanyaan tentang jumlah insting adalah hal
yang harus ditentukan oleh penyelidikan biologis.
In his final reckoning, Freud mengenali dua kelompok besar
insting, kelompok yang berperan melayani kehidupan, dan kelompok yang melayani
kematian. Tujuan akhir dari insting-insting kematian adalah mengembalikan pada
keadaan konstan yang dimiliki materi inorganik. Freud berspekulasi bahwa insting-insting
kematian were built into living matter at a time in the evolution of the earth
ketika kekuatan-kekuatan kosmik melakukan tindakan atas materi inorganik dan
mengubahnya menjadi bentuk-bentuk kehidupan. Hal-hal kehidupan yang awali ini
barangkali hanya berjalan amat singkat dan kemudian kembali (mengalami regresi)
ke keadaan inorganis semula. Kehidupan pada dasarnya terdiri dari keadaan
terganggu [disturbed] yang dihasilkan melalui stimulasi ekternal. Ketika
gangguan itu mereda percik-percik kehidupan terbit. As a result of these
conditions surrounding the creation of life, regresi pada keadaan inorganik
menjadi tujuan dari yang organis.
Seiring perjalanan evolusi dunia, bentuk-bentuk energi baru
menciptakan gangguan-gangguan yang lebih bertahan lama sehingga rentang hidup
pun lebih panjang. Eventually makhluk-makhluk hidup mendapatkan kekuatan untuk
bereproduksi. Pada titik dalam evolusi ini penciptaan kehidupan menjadi
independen dari stimulasi eksternal. Meski insting reproduksi memastikan [insure]
kontinuitas kehidupan, kehadiran suatu insting kematian berarti bahwa tak ada
makhluk hidup yang bisa hidup selamanya. Takdir terakhirnya selalulah kembali
ke keadaan inorganik. Freud percaya bahwa hidup adalah jalan melingkar menuju
kematian.
Insting-insting kematian melaksanakan kerja-kerjanya secara
misterius. Sedikit yang diketahui tentang insting-insting itu kecuali bahwa
mereka secara tak terelakkan berhasil mencapai misinya. Akan tetapi,
derivatif-derivatif dari insting-insting kematian, yang diantara insting
terpentingnya adalah destructiveness dan agresi, jauh dari bersifat misterius.
Diskusi tentang derivatif-derivatif insting akan ditemukan dalam Bab 4, �The
Development of Personality.� Cukuplah untuk mengatakan di sini bahwa derivatif dari
suatu insting adalah suatu daya pendorong yang memiliki sumber dan tujuan yang
sama dengan insting yang darinya ia diasalkan, tapi berbeda dalam hubungannya
dengan cara-cara yang melaluinya tujuan itu dicapai. Dengan kata lain,
derivatif dari suatu insting is a substitute object-cathexis.
Insting-insting kehidupan lebih dikenal karena efek-efeknya
lebih publik. Semua itu merupakan representatif mental dari segenap
kebutuhan-kebutuhan ragawi yang kepuasannya diperlukan untuk survival dan
perkembang-biakkan. Insting-insting seks adalah insting kehidupan yang paling
mendalam ditelaah dan mengasumsikan artipenting besar dalam teori personalitas
psikoanalitik. Insting-insting seks memiliki sumber-sumbernya dalam bermacam
zona ragawi, yang disebut zona-zona erogenus. Mulut, anus, dan organ-organ genital
merupakan zona-zona erogenus yang utama. Freud memandang bahwa suatu zona
erogenus mungkin merupakan bagian tubuh yang dipekakan oleh [peka karena]
substansi-substansi kimiawi (hormon-hormon] yang dikeluarkan oleh
kelenjar-kelenjar seks [sex glands]. Insting-insting seks muncul secara
independen satu sama lain dalam hidup seorang individu, tapi pada pubertas
[kematangan seksual] mereka lumrahnya menjadi disintesiskan dalam tugas-tugas
reproduksi. Insting-insting seks juga berinteraksi dengan insting-insting
kehidupan lainnya. Mulut sebagai portal bagi makanan juga sebagai bagian tubuh
yang ketika dirangsang dengan mencukupi akan memunculkan kenikmatan sensual.
Anus adalah organ yang melaluinya produk-produk-buangan dieliminir tapi ia juga
memberikan kenikmatan ketika ia distimulasi dalam cara tertentu. Derivatif
utama insting-insting seks adalah cinta. Kita akan banyak membahas tentang
insting-insting seks dan derivatif-derivatifnya dalam bab berikutnya.
Bentuk energi yang digunakan insting-insting kehidupan
disebut libido, tapi tak ada nama khusus yang diberikan Freud bagi bentuk
energi yang digunakan oleh insting-insting kematian. Dalam tulisan-tulisan yang
lebih awalnya, Freud menggunakan term �libido�
untuk menyebutkan energi seksual; tapi ketika dia merancang teorinya tentang
motivasi, libido didefinisikan sebagai energi dari semua insting-insting
kehidupan.
Insting-insting kehidupan dan kematian dan
derivatif-derivatif mereka bisa saja melebur satu sama lain, saling
menetralisir, atau saling mengganti satu sama lain. Satu contoh dari peleburan
[fusion] instingtual adalah tidur, semenjak tidur adalah baik keadaan dimana
ketegangan direduksi (a partial return along the road back to the inorganic)
dan saat yang ketika itu proses-proses kehidupan sedang direvitalisasi.
Kegiatan makan merepresentasikan suatu peleburan insting kehidupan dengan
insting destructiveness yang derivatifnya adalah insting kematian, semenjak
hidup ditopang oleh makan tapi pada saat yang sama makanan itu sedang
dihancurkan dengan digigit, dikunyah, dan ditelan. Cinta, suatu derivatif dari
insting-insting seks, seringkali menetralisir rasa benci, derivatif dari
insting-insting kematian. Atau mereka bisa saling menggantikan seperti yang
terjadi ketika cinta berubah menjadi benci atau benci yang berubah menjadi
cinta.
Insting-insting bermukim dalam id, tapi mereka mengungkapkan
diri dengan memandu proses-proses dari ego dan superego. Ego merupakan agen
pokok dari insting-insting kehidupan. Ego melayani insting-insting kehidupan
dalam dua cara penting. Ia lahir pada awalnya karena demi mendapatkan kepuasan
bagi kebutuhan-kebutuhan ragawi. Ia melakukan hal ini dengan belajar melakukan
transaksi-transaksi realistik dengan lingkungan. Ego juga melayani
insting-insting kehidupan dengan mengubah [transforming] insting kematian ke
dalam bentuk-bentuk yang tunduk pada tujuan-tujuan kehidupan alih-alih
tujuan-tujuan kematian. Sebagai contoh, the primary death wish yang ada dalam
id mengalami perubahan dalam ego menjadi agresi melawan musuh-musuh yang ada di
dunia eksternal. Dengan melakukan tindakan agresif orang melindungi dirinya
dari terluka atau dihancurkan oleh musuh-musuhnya. Agresi juga membantunya
mengatasi rintangan-halangan yang tegak di tengah jalan menuju kepuasan yang
diidamkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
Akan tetapi ketika orang sedang agresif dia seringkali
menemui kontra-agresi dari tokoh-tokoh otoritas dan musuh-musuh. Untuk
menghindari hukuman, orang itu kemudian belajar untuk mengidentifikasi dengan
agresor. Ini berarti bahwa dia menjadi agresif terhadap [dalam melawan]
impuls-impuls yang membuat dirinya memiliki sikap bermusuhan kepada orang lain.
Dengan kata lain, dia mengembangkan superego yang memainkan peran yang sama
dalam mengontrol impuls-impulsnya seperti yang dilakukan otoritas eksternal.
Superego dalam perannya sebagai otoritas yang
diinternalisasi kemudian mengambil aksi agresif terhadap ego kapanpun ego
menimbang-nimbang untuk memiliki sikap bermusuhan atau memberontak terhadap
suatu figur otoritas external. Urutan peristiwanya bisa diringkaskan sebagai
berikut: (1) anak bersikap agresif kepada ayah, (2) sang ayah membalasnya
dengan menghukum si anak, (3) si anak beridentifikasi dengan ayah yang
menghukum tersebut, (4) otoritas yang dimiliki sang ayah diinternalisasi dan
menjadi superego, dan (5) superego itu menghukum ego ketika ia tak mematuhi
aturan moral dari superego. Dalam bentuk yang ekstrim, superego berusaha untuk
menghancurkan ego. Inilah apa yang terjadi, contohnya, ketika orang merasa
begitu malu akan dirinya sendiri sehingga dia punya kecenderungan untuk bunuh
diri.
Semenjak ego merupakan agen kehidupan, superego dengan
berusaha menghancurkan ego punya tujuan yang sama dengan the original death
wish in the id. Itulah kenapa superego disebut-sebut sebagai agen dari
insting-insting kematian.
VII. ANXIETY
Kecemasan merupakan salah satu konsep paling penting dalam
teori psikoanalisis. Ia memainkan peran penting dalam perkembangan personalitas
juga dalam dinamika bekerjanya personalitas. Lebih lagi, ia merupakan
signifikansi sentral dalam teori Freud tentang neurosis dan psikosis dan dalam
perawatan atas kondisi-kondisi patologis ini. Diskusi sekarang akan membatasi
diri pada pembahasan atas bagian yang dimainkan kecemasan dalam berfungsinya
personalitas normal.
Kecemasan adalah pengalaman emosional yang menyakitkan yang
dihasilkan melalui Excitasi-excitasi dalam organ-organ internal tubuh.
Excitasi-excitasi ini dihasilkan dari stimulasi internal atau eksternal dan
dikendalikan oleh sistem saraf otonomis. Sebagai contoh, ketika orang
menghadapi suatu situasi yang membahayakan jantungnya berdetak lebih kencang,
bernafas dengan lebih cepat, mulut menjadi kering, dan telapak tangannya
berkeringat.
Kecemasan dibedakan dari keadaan-keadaan menyakitkan lainnya,
seperti misalnya ketegangan, rasa sakit, dan melankoli oleh beberapa kualitas
tertentu dari kesadaran. Exactly apa yang menentukan kualitas ini yang belum
diketahui. Freud berpandangan bahwa ia mungkin merupakan beberapa ciri
distingtif dari the visceral excitations themselves. Dalam setiap kejadian,
kecemasan merupakan keadaan sadar yang bisa dibedakan secara subjektif oleh
orang yang mengalami rasa sakit, depresi, melankoli, dan ketegangan-ketegangan
yang diakibatkan dari rasa lapar, haus, seks, dan kebutuhan-kebutuhan ragawi
lainnya. Incidentally, tak ada hal seperti misalnya kecemasan bawah sadar any
more than there is such a thing as rasa sakit bawah sadar. Orang bisa tak insaf
akan alasan-alasan dari kecemasannya, tapi dia tidak dapat tidak [niscaya]
insaf akan perasaan kecemasan tersebut. Kecemasan yang tidak dialami tidaklah
ada.
Kecemasan adalah sinonim dengan emosi ketakutan. Freud
memilih term anxiety daripada fear karena rasa takut biasanya dipahami dalam
artian berada dalam kondisi takut akan sesuatu yang ada di dunia eksternal.
Freud mafhum bahwa orang bisa saja takut akan ancaman-ancaman internal
sebagaimana ancaman yang eksternal. Dia membedakan tiga tipe kecemasan,
kecemasan realitas atau objektif, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.
Ketiga tipe kecemasan ini tidak berbeda diantara
masing-masingnya secara kualitatif. Mereka semua memiliki kualitas tunggal
sebagai sesuatu yang tak mengenakkan. Mereka berbedaan hanya dalam hubungannya
dengan sumber-sumber mereka. Dalam kecemasan realitas, sumber ancaman itu
terletak di dunia eksternal. Orang takut akan ular berbisa, orang berpistol,
atau mobil yang bergerak tak terkendali. Dalam kecemasan neurotik, ancaman itu
terdapat dalam an instinctual object-choice of the id. A person is afraid of
being overwhelmed by an uncontrollable urge to commit some act or think some
thought which will prove harmful to himself. Dalam kecemasan moral, sumber
ancaman itu adalah nurani dari superego. Orang takut dihukum oleh nurani karena
melakukan atau memikirkan sesuatu yang bersebrangan dengan standar-standar yang
dimiliki ego-ideal. Ringkasnya, ketiga tipe kecemasan yang dialami oleh ego
adalah rasa takut akan dunia eksternal, rasa takut akan id, dan rasa takut akan
superego.
Distingsi antara ketiga tipe kecemasan ini tidaklah berarti
bahwa orang yang mengalami kecemasan sadar akan sumber aktualnya. Dia mungkin
mengira bahwa dia takut akan sesuatu yang ada dalam dunia eksternal ketika pada
kenyataannya ketakutannya itu berakar dari suatu ancaman impulsif atau ancaman
dari superego. Misalnya, orang yang takut memegang pisau-pisau yang tajam
mungkin mengira bahwa ketakutannya itu adalah karena pisau yang tajam secara
intrinsik memang membahayakan, ketika pada kenyataannya apa yang menakutkannya
adalah bahwa dia mungkin menjadi agresif dan melukai seseorang ketika dia
sedang memegang pisau. Atau orang mungkin mengira bahwa dia takut berada di
tempat tinggi karena tempat-tempat tinggi secara objektif berbahaya, ketika
sebenarnya dia takut nuraninya will seize the opportunity of his being on a
high place to punish him for his sins by causing him to fall off. Suatu keadaan
cemas bisa memiliki lebih dari satu sumber. Ia bisa pula merupakan
campuran dari kecemasan objektif dan
neurotik, atau dari kecemasan moral dengan kecemasan objektif, atau dari
kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Ia juga bisa merupakan campuran
ketiganya. Fungsi satu-satunya kecemasan adalah untuk bertindak sewaktu suatu
ancaman memberi sinyal kepada ego, sehingga ketika sinyal itu muncul dalam
kesadaran the ego may institute measures to deal with the danger. Meski
kecemasan adalah menyakitkan dan orang mungkin ingin semua itu sirna, ia
melayani satu fungsi yang amat penting dengan memperingatkan orang akan
keberadaan ancaman-ancaman internal dan eksternal. Dengan menjadi waspada, dia
bisa melakukan sesuatu untuk mengenyahkan atau menghindarkan ancaman tersebut.
Di lain pihak, jika ancaman itu tidak dapat dihindarkan, kecemasan bisa
memuncak and finally overwhelm the person. Jika ini terjadi, orang itu
dikatakan mengalami a nervous breakdown.
A. REALITY ANXIETY
Kecemasan realitas merupakan pengalaman emosional yang
menyakitkan yang dihasilkan dari persepsi akan ancaman dalam dunia eksternal.
Suatu ancaman adalah setiap kondisi yang ada di lingkungan yang mengancam akan
melukai [mendatangkan kerugian, kenestapaan] orang tersebut. Persepsi akan
ancaman dan munculnya kecemasan bisa saja bawaan lahir dalam artian bahwa orang
tersebut mewarisi suatu kecenderungan untuk menjadi takut dengan kehadiran
objek-objek tertentu atau kondisi-kondisi environmental tertentu, atau bisa
juga kecemasan itu diperoleh sewaktu dia menjalani kehidupannya. Misalnya,
takut akan gelap bisa merupakan bawaan lahir karena selama generasi-generasi
yang telah lewat kaum prianya secara tetap terancam sepanjang malam sebelum
mereka punya cara dalam membuat api, atau ia bisa dipelajari karena ia lebih
cenderung mengalami pengalaman yang membangkitkan ketakutan sepanjang malam
daripada di waktu siang hari. Atau adalah mungkin pewarisan dan pengalaman
merupakan co-producers of fear of darkness. Pewarisan mungkin membuat orang
menjadi rentan pada rasa takut tersebut sementara pengalaman bisa mengubah
kerentanan itu menjadi aktualitas.
Dalam suatu peristiwa, ketakutan lebih mudah diperoleh
sepanjang masa bayi dan masa kanak ketika ketakberdayaan dari organisme yang
belum matang itu membuatnya tidak sanggup untuk mengatasi ancaman-ancaman
eksternal. Organisme yang masih muda itu seringkali diliputi rasa takut karena
egonya belum berkembang sampai satu titik di mana dia bisa mengontrol jumlah
stimulasi yang eksesif.
Pengalaman-pengalaman yang membebani orang hingga dia tak
bisa menanggungnya dengan kecemasan disebut traumatik, karena
pengalaman-pengalaman itu mengembalikan dia pada keadaan helplessness yang dia
alami ketika dalam fase bayi. Prototip dari segenap pengalaman traumatik adalah
birth trauma. Bayi yang baru dilahirkan dibombardir dengan stimulasi eksesif
dari dunia yang dalam fase sebelumnya, fase eksistensi fetal yang terlindung
dalam rahim, tidak mempersiapkan si bayi dengan cara-cara untuk mengatasinya.
Semasa tahun-tahun pertamanya, anak berhadapan dengan banyak situasi lain yang
tidak dapat dia tangani, dan pengalaman-pengalaman traumatik ini menyiapkan
landasan bagi perkembangan keseluruhan bentuk dan perkaitan-perkaitan dari rasa
takut. Tiap situasi dalam kehidupan yang kemudian yang berpotensi mengembalikan
orang itu pada keadaan helplessness masa kanak akan memicu sinyal kecemasan.
Ketakutan semuanya berhubungan dan diasalkan dari pengalaman-pengalaman awal
akan situasi helplessness ini. Itulah kenapa amat penting untuk memproteksi
bayi dari pengalaman-pengalaman traumatik.
Akan tetapi kita bisa dan belajar bereaksi secara efektif
ketika alarm dari kecemasan berdering. Kita kabur dari ancaman atau kita
melakukan sesuatu untuk meredakan ancaman itu. Kita juga mendapat [lewat proses
belajar] kemampuan untuk mengantisipasi ancaman dan mengambil langkah-langkah
untuk mengenyahkannya sebelum ia menjadi traumatis. Kemampuan ini terdiri dari
kemampuan untuk mengenali secuil perasaan akan apprehension sebagai sinyal
untuk sesuatu yang akan menjadi lebih berbahaya kecuali hal itu dihentikan.
Orang terus-terusan meregulasi perilakunya atas dasar of incipient feelings of
apprehension. Ketika orang sedang mengemudikan mobil, misalnya, dia mengalami
serangkaian apprehension yang memperingatkannya untuk bersikap waspada akan
ancaman yang mungkin datang.
Ketika orang tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengusir
ancaman, kecemasan memuncak sampai pada titik dimana orang itu pening atau
pingsan. Rasa takut diketahui bisa membunuh orang. Seperti yang akan kita lihat
dalam bab selanjutnya, ego memiliki cara lain dalam berurusan dengan kecemasan.
B. NEUROTIC ANXIETY
Kecemasan neurotik dilahirkan oleh suatu persepsi akan
bahaya dari insting-inting. Ia merupakan ketakutan akan apa yang mungkin
terjadi jika anti-cathex dari ego gagal untuk membendung object-cathex dari
melepaskan ketegangan-ketegangannya dalam tindakan yang impulsif.
Kecemasan neurotik bisa muncul dalam tiga bentuk. Ada a
free-floating type of apprehensiveness yang sudah melekatkan diri pada keadaan
environmental yang kurang lebih suitable. Macam kecemasan ini mencirikan orang
yang gugup yang selalu mengekspektasi sesuatu yang menakutkan akan terjadi.
Tentang orang seperti ini kita menyebutnya bahwa dia takut akan bayangannya
sendiri. Kita mungkin lebih baik mengatakan bahwa dia takut akan id-nya
sendiri. Apa yang sebenarnya dia takuti adalah bahwa id yang secara konstan
melakukan pressure pada ego akan mendapatkan kontrol atas ego dan
mengembalikannya pada keadaan helplessness.
Bentuk kecemasan neurotik lainnya yang bisa dilihat adalah
rasa takut intens dan irasional. Ini disebut phobia.
Ciri khas dari fobia adalah intensitas ketakutan itu jauh
amat tidak sebanding dengan ancaman aktual dari objek yang ditakutinya itu. Dia
bisa saja takut setengah mati akan lalat buah, tikus, tempat-tempat tinggi,
orang ramai, daerah terbuka, kancing, karet, menyebrang jalan, bicara di hadapan
sekelompok orang, air, atau bola lampu, untuk menyebutkan sedikit dari banyak
fobia yang pernah dilaporkan. Dalam masing-masing kasus ini ketakutan tersebut
irasional karena pemicu utama dari kecemasan itu terdapat dalam id daripada
dalam dunia eksternal. Objek fobia merepresentasikan suatu godaan kepada
pemuasan instingtual atau diasosiasikan dengan bermacam cara dengan suatu
object-choice instingtual. Di balik semua ketakutan neurotik terdapat suatu
keinginan primitif id akan objek yang ditakutinya itu. Orang tersebut
menginginkan apa yang ia takutkan atau dia menginginkan sesuatu yang
diasosiasikan dengannya, atau disimbolkan oleh, objek yang ditakutinya.
Sebagai contoh, seorang wanita muda takut setengah mati
dalam menyentuh segala sesuatu yang terbuat dari karet. Dia tidak tahu kenapa
dia memiliki ketakutan semacam ini; dia hanya tahu bahwa dia sudah mengidapnya
sudah lama sekali. Analisis menyingkapkan fakta-fakta berikut. Ketika dia masih
kanak-kanak, ayahnya membawa pulang dua buah balon, satu untuknya dan yang
satunya lagi untuk adik perempuannya. In a bit of temper dia memecahkan balon
kepunyaan adiknya, yang untuk kesalahannya itu dia dihukum dengan keras oleh
ayahnya. Lebih lagi, dia harus menyerahkan balonnya kepada adiknya sebagai
ganti dari balon yang pecah. Dengan analisis yang lebih jauh diketahui bahwa
dia telah menjadi amat cemburu pada adik perempuannya ini, sebegitu cemburunya
sampai dia punya keinginan agar si adik mati saja dan akan membuatnya sebagai
satu-satunya orang tempat curahan seluruh cinta ayahnya. Memecahkan balon
adiknya ditandakan sebagai suatu tindakan destruktif dalam melawan adiknya.
Hukuman yang datang kemudian dan rasa bersalah yang diidapnya kemudian
diasosiasikan dengan balon karet. Kapanpun dia berkontak dengan karet,
ketakutan yang lama untuk menghancurkan adik perempuannya itu membuat si wanita
merasa kerdil.
Fobia-fobia juga bisa dibikin intens oleh kecemasan moral
ketika objek yang diinginkan namun ditakuti itu merupakan objek yang melanggar
ideal yang dimiliki superego. Misalnya, seorang perempuan mungkin memiliki
ketakutan irasional mengalami perkosaan karena dia benar-benar ingin diserang
secara seksual tapi superegonya menentang keinginannya ini. Dia tidak
benar-benar takut diperkosa; pada kenyataannya dia menginginkan hal itu
terjadi. Yang ditakutkannya adalah nuraninya sendiri karena telah memelihara
keinginan tersebut. Dengan kata lain, satu bagian dari personalitasnya sedang
berperang dengan bagian yang lain. Id mengatakan, �I want it�;
superego mengatakan, �How horrible�; dan ego mengatakan, �I am afraid.�
Inilah penjelasan bagi banyak ketakutan yang akut.
Bentuk ketiga kecemasan neurotik terlihat dalam
reaksi-reaksi panik atau hampir-panik. Reaksi-reaksi ini muncul dengan
tiba-tiba dan with no apparent provocation. Orang kadang-kadang membaca berita
tentang seseorang yang berlari dengan perasaan marah lalu menembaki dengan
membabi buta banyak orang yang bahkan tak pernah dia kenal dan yang tak pernah
melakukan kerugian secuilpun kepada dirinya. Subsequently dia tidak bisa
menjelaskan kenapa dia melakukan hal semacam itu. Apa yang dia tahu adalah
bahwa dia merasa kecewa berat [upset] dan begitu tegang sehingga dia harus
melakukan sesuatu sebelum dia meledak. Reaksi-reaksi panik ini merupakan contoh
dari perilaku pelepasan ketegangan yang bertujuan untuk melepaskan kecemasan
neurotik yang amat menyakitkan dengan melakukan hal-hal yang disuruh id, tanpa
menghiraukan larangan-larangan ego dan superego.
Perilaku panik adalah bentuk ekstrim dari reaksi yang seringkali
diperlihatkan dalam bentuk-bentuk yang kurang violent. Ia terlihat kapanpun
seseorang melakukan sesuatu yang diluar kebiasaannya. Ia bisa berupa
memberondongkan kata-kata ofensif tertentu, mengambil benda yang bernilai kecil
dari toko, atau melontarkan pernyataan menyakitkan mengenai seseorang. dalam
kasus-kasus semacam itu orang itu disebut to be acting out his impulses. Acting
out one�s
impulses mengurangi kecemasan neurotik dengan mengendurkan tekanan yang
dilakukan id kepada ego.
Tak perlulah dikatakan, perilaku acting-out ini akan
menghasilkan peningkatan kecemasan realitas ketika tindak impulsif tersebut
membangkitkan reaksi mengancam dari lingkungan, seperti yang biasanya terjadi.
Seorang anak yang berulang-ulang dihukum karena acting on impulse, so that he
ussually learns to control his impulses. Jika dia sewaktu kecil tidak belajar
mengontrol, dan tumbuh menjadi seorang yang impulsif, masyarakat memiliki
cara-cara dalam menangani orang semacam dia melalui saluran-saluran hukum. Even
so, warga yang patuh hukum telah sering kita dengar melanggar hukum dibawah
tekanan kecemasan neurotik. Kontrol yang mereka punya berantakan dan
impuls-impuls saling berebutan minta disalurkan lewat perilaku. Meski orang
yang terkontrol dengan baik biasanya menyesali tindakan-tindakan impulsif dan
ledakan-ledakan emosional, there is a sense of relief that comes from
exploding.
Kecemasan neurotik didasarkan pada kecemasan realitas dalam
artian bahwa orang harus mengasosiasikan tuntutan instingtual dengan suatu
ancaman eksternal sebelum dia belajar untuk takut terhadap insting-instingnya.
Sepanjang pelepasan instingtual tidak melahirkan hukuman, dia tidak mempunyai
sesuatupun untuk ditakuti dari object-cathex instingtual. Akan tetapi, ketika
perilaku impulsif mendatangkan masalah bagi seseorang, seperti yang biasanya
terjadi, dia menjadi tahu [learns] seberapa bahaya insting-insting tersebut
sebenarnya. Tamparan dan spankings dan bentuk-bentuk hukuman lainnya
memperlihatkan pada anak bahwa pemuasan instingtual impulsif membawa orang pada
situasi yang tak menyamankan. Si anak mendapatkan kecemasan neurotik ketika dia
dihukum karena telah bertindak impulsif.
Kecemasan neurotik bisa menjadi beban yang jauh lebih berat
bagi ego daripada kecemasan objektif. Sewaktu kita tumbuh dan bertambah usia
kita mengembangkan cara-cara menguasai atau menghindarkan ancaman-ancaman
eksternal, dan bahkan sewaktu kanak kita selalu dapat melepaskan diri dari
objek-objek atau situasi-situasi yang berbahaya. Tapi semenjak sumber kecemasan
neurotik is a province of one�s own personality, adalah lebih sulit untuk menanganinya dan
lumayan mustahil untuk melarikan diri darinya. Perkembangan personalitas,
seperti yang akan kita lihat di bab selanjutnya, ditentukan sebagian besarnya
oleh macam-macam adaptasi dan mekanisme yang dibentuk dalam ego untuk berurusan
dengan kecemasan-kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Pertarungan melawan
rasa takut merupakan salah satu keterlibatan decisif dalam pertumbuhan
psikologis, yang hasil akhirnya akan amat menentukan bagi karakter final dari
seseorang.
Sebelum bagian ini diakhiri pembaca haruslah mencatat bahwa
kecemasan neurotik bukanlah sesuatu dimiliki secara eksklusif oleh orang-orang
neurotik. Orang normal pun mengalami kecemasan neurotik, tapi kecemasan itu
tidak mengontrol kehidupan mereka sejauh yang terjadi dalam kehidupan
orang-orang neurotik. After all, perbedaan antara orarng neurotik dengan orang
normal is one degree, dan garis batas antara keduanya adalah wilayah abu-abu.
C. MORAL ANXIETY
Kecemasan moral dialami sebagai perasaan bersalah atau malu
dalam ego, dibangkitkan oleh persepsi akan adanya suatu ancaman dari nurani.
Nurani sebagai agen otoritas parental yang diinternalisasi mengancam akan
menghukum orang karena melakukan atau memikirkan sesuatu yang melanggar
tujuan-tujuan perfeksionistik ego-ideal yang telah diterakan dalam
personalitasnya oleh orang tua. Ketakutan original yang darinya kecemasan moral
berasal adalah ketakutan yang objektif; ia merupakan ketakutan akan orang tua
yang punitive. Seperti dalam kasus kecemasan neurotik, sumber kecemasan moral
terletak dalam struktur personalitas, dan sebagaimana dengan kecemasan neurotik
orang tidak dapat melepaskan diri dari perasaan bersalah dengan melarikan diri
dari semua itu. Konflik ini sepenuhnya intra-psikis, yang berarti bahwa ia
merupakan konflik struktural dan tidak memperlihatkan hubungan antara orang
dengan dunia, kecuali dalam artian historis bahwa kecemasan moral adalah an
outgrowth of an objective fear of the parents.
Kecemasan moral memiliki kaitan yang kuat dengan kecemasan
neurotik semenjak musuh utama dari superego adalah object-choice dari id.
Kaitan-kaitan ini berasal dari disiplin orang tua yang sebagian besarnya
diarahkan untuk melawan ekspresi-ekspresi seksual dan impuls-impuls agresif.
Sebagai akibatnya, nurani, yang merupakan suara otoritas parental yang
diinternalisasi, terdiri dari larangan-larangan terhadap sensualitas dan
ketakpatuhan.
Adalah salah satu ironi kehidupan bahwa seorang yang saleh
mengalami lebih banyak rasa malu daripada yang dialami oleh orang yang tak
saleh. Alasan untuk hal ini adalah bahwa semata-mata memikirkan untuk melakukan
sesuatu yang buruk membuat seorang yang saleh merasa malu. Orang yang melakukan
banyak kontrol diri is bound to [cenderung] give a good deal of thought to
instinctual temptations since he does not find other outlets for his
instinctual urges. Orang yang kurang saleh tidak memiliki superego yang kuat,
dan dengan begitu dia kurang merasakan kekangan-nurani ketika dia memikirkan atau
melakukan sesuatu yang ganjil bagi kode moral yang ada. Perasaan bersalah
merupakan bagian dari harga yang harus dibayar oleh orang idealistik atas
penyangkalan instingtual [yang dilakukannya].
Kita telah mengatakan bahwa kecemasan merupakan suatu
peringatan pada ego bahwa ia sedang terancam. Dalam kecemasan objektif jika
orang tidak memperdulikan peringatan tersebut sesuatu yang mencelakakan bakalan
terjadi. Dia menderita sakit atau luka fisik, atau dia akan mengalami privation
or deprivation. Dengan memerdulikan peringatan itu, orang akan sanggup
menghindarkan ancaman dan kecelakaan tersebut. Baik dalam kecemasan moral
maupun kecemasan neurotik keterancaman itu tidaklah berada di dunia eksternal
juga bukan luka fisik yang menyakitkan yang ia takutkan. Lalu apa yang dia
takutkan? Orang takut akan rasa takut itu sendiri. Ini sudah jelas dalam kasus
perasaan bersalah yang secara langsung menyakitkan bagi orang tersebut.
Perasaan bersalah bisa begitu tak tertahankan, in fact, sehingga orang yang
merasa bersalah bisa melakukan sesuatu yang mengundang hukuman dari sumber
eksternal demi menghapuskan rasa bersalah itu dan mendapatkan kelegaan
[relief]. Orang-orang yang ketahuan melakukan kejahatan terlepas dari perasaan
bersalah. Mereka dengan mudah dapat ditangkap karena mereka ingin tertangkap
dan ingin dihukum. Dalam cara yang serupa, tekanan kecemasan neurotik yang
semakin sengit bisa membuat orang kehilangan akal dan melakukan sesuatu yang
amat impulsif. Konsekuensi-konsekuensi dari perbuatan impulsif dipandang
sebagai kurang menyakitkan daripada kecemasan itu sendiri. Kecemasan neurotik
dan kecemasan moral tidak hanya merupakan a signal of impeding danger to the
ego, ia juga ancaman itu sendiri.
VIII. KESIMPULAN
Dalam bab ini kita telah membahas personalitas sebagai
sistem energi yang kompleks. Bentuk energi yang menjalankan personalitas dan
memampukannya melakukan kerja-kerjanya disebut energi psikis. Darimanakah
energi ini berasal? Ia datang dari energi vital tubuh. Energi vital
ditransformasi menjadi energi psikis. Bagaimana transformasi ini terjadi
tidaklah diketahui.
Sumber dari energi psikis adalah id. Energi id ini digunakan
untuk memuaskan insting-insting kehidupan dan kematian. Melalui mekanisme
identifikasi, energi disedot dari sumbernya dan digunakan untuk mengaktivasi
ego dan superego.
Energi untuk ego dan superego itu dipakai untuk dua tujuan
utama. Ia bisa membantu untuk melepaskan ketegangan dengan disuntikkan dalam
cathex-cathex, atau ia menghindarkan pelepasan ketegangan tersebut dengan
disuntikkan dalam anti-cathex. Anti-cathex diciptakan utamanya demi
tujuan-tujuan mereduksi kecemasan dan menjauhkan rasa sakit. Apa yang seseorang
pikirkan dan apa yang dia lakukan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan relatif
dari daya-daya pendorong dan penentang ini. In the final analysis, dinamika
personalitas terdiri dari pertukaran-pertukaran energi psikis diantara tiga
sistem personalitas.
REFERENSI
Energy, Instinct, and Cathexis
Freud, Sigmund. (1915) �Instincts and Their
Vicissitudes.�
Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal. 60-83. London: The Hogarth Press, 1964.
Freud, Sigmund. (1920) Beyond the Pleasure Principle.
London: The Hogarth Press, 1948.
Freud, Sigmund. (1923) The Ego and the Id, Bab. IV. London:
The Hogarth Press, 1947.
Freud, Sigmund. (1924) �The Economic Problem
in Masochism.�
Dalam Collected Papers, Vol. II, hal. 255-68. London: The Hogarth Press, 1933.
Freud, Sigmund. (1933) New Introductory Lectures on
Psycho-analysis, Bab IV. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1933.
Freud, Sigmund. (1933) An Outline of Psychoanalysis, Bab 2.
New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1949.
Consciousnes and Unconsciousness
Freud, Sigmund. (1900) The Interpretation of Dreams, Bab 7.
London : The Hogarth Press, 1953.
Freud, Sigmund, (1912) �A Note on the
Unconscious in Psychoanalysis.� Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal. 22-29. London: The
Hogarth Press, 1946.
Freud, Sigmund. (1915) �The Unconscious.�
Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal. 98-136. London: The Hogarth Press, 1946.
Freud, Sigmund. (1938) An Outline of Psychoanalysis, Bab 4.
New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1949.
Anxiety
Freud, Sigmund. (1926) Inhibitions, Symtoms, and Anxiety.
London: thp, 1948.
Freud, Sigmund. (1933) New Introductory Lectures on
Psychoanalysis. Bab 4. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1933.
* an excitatory process
* object-cathexes.
** confused
* When it cathects an image of an object
* cathexes
** the instinctual object-choices of the id
*** is siphoned off [draw liquid through tube: to transfer
liquid from one container to another through a tube using atmospheric pressure
to make it flow]
* charge of energy
* ostensible=seeming to be true or genuine, but open to
doubt: presented as being true, or appearing to be true, but usually hiding a
different motive or meaning
** interplay
* frustrate
[1] Sigmund Freud, �The Psychogenesis of a
Case of Homosexuality in a Woman.� Dalam Collected Papers, II (London, 1933), 226-27.
[2] Sigmund Freud, �Some Elementary
Lessons in Psycho-analysis.� Dalam Collected Papers, V (London, 1950), 382.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar, terbuka dengan masukan, kritik, dan saran.